Nee, kikoeteru no? Boku no koe ga, boku no uta
ga
Koborenai namida demo, karadajuu ga naiteru..
Ken Hirai – Aishiteru
“Ka-Kaho...semua...nya...akan baik...baik
saja...”
“Tidak, kau jangan berbicara dulu,
Hikaru-kun!”
“Ka...ho...”
“Sebentar lagi ambulans akan datang,
bertahanlah sedikit lagi...”
“Chotto...isshoni itakatta...”
“Yada! Jangan berbicara seperti itu!”
“Aishiteru yo...Kaho...zutto...”
Hening. Tidak ada lagi gerakan yang
ditimbulkan Hikaru. Matanya tertutup, tangannya terjatuh dipangkuanku padalah
detik sebelumnya dia sedang memegang pipiku. Tidak, ini tidak mungkin!
“Nee, Hikaru-kun, kau tidur kan?” ucapku
sambil menggoyang-goyangkan tubuh Hikaru. “Hikaru-kun, bangunlah! Onegai,
bangunlah...”
Tidak ada gerakkan sama sekali. Tidak
mungkin...
“Yada!!Yaaadaa!!!!”
“Iwata-san! Iwata-san!!”
Kaho membuka matanya. Ternyata tadi itu hanyalah mimpi.
Kaho merasa sedikit ganjil karena saat mengerjapkan matanya, dia merasakan
sesuatu yang basah.
“Air...mata?” batin Kaho. “Kenapa harus mimpi
itu?”
“Iwata-san, daijyoubu ka?”
Kaho menengok ke arah sumber suara yang memanggilnya, dan
yang terjadi kemudian adalah Kaho langsung meninju Haruma yang berada tidak
jauh darinya. Haruma yang tidak memiliki pertahanan, terpaksa harus menerima
tinjuan Kaho mentah-mentah dan harus rela tersungkur di lantai.
“Itte...” rintih Haruma.
“Kenapa kamu ada di kamarku?!!”
“Baka! Lihat sekelilingmu apakah ini kamarmu?!”
tukas Haruma yang masih mengusap-usap wajahnya yang sakit. Kaho pun
memperhatikan sekelilingnya. Warna cat tembok, properti, gorden, jendela,
semuanya asing bagi Kaho.
“A-aku dimana?”
“Di rumahku. Sekarang kau akan tinggal denganku,
Iwata-san,” sahut Haruma yang sekarang sedang mencoba berdiri.
“Eeeehh!! Doumo, aku bisa pulang ke apartemenku sendiri.”
“Muri da. Hari ini aku pergi ke apartemenmu
setelah menanyakan alamatnya di sekolah, dan sesampainya di sana...” Haruma
menatap Kaho sejenak dan memastikan bahwa yang akan diucapkannya nanti bukanlah
hal yang salah. “Rumahmu sudah terbakar.”
Hening. Kaho masih menatap Haruma dengan wajah tanpa
emosinya, sedangkan Haruma merasa sedikit menyesal dengan tindakannya tadi
karena dia belum melihat reaksi apapun dari Kaho. Dan akhirnya keheningan terpecahkan saat Kaho mengucapkan kata “Oh” singkat dan dia mengalihkan
pandangannya.
“Gomen, aku hanya menemukan ini yang masih bisa
diselamatkan,” ucap Haruma menyodorkan sesuatu. Buku? Tidak, itu bukan buku.
Saat Kaho membukanya itu adalah album foto. Album foto yang sudah lama dia
lupakan. Kaho membalikan setiap halaman, melihat foto-foto yang terpajang
disana dengan singkat, hingga dia harus berhenti pada salah satu halaman yang
hanya memajang satu foto. Foto dirinya bersama Hikaru. Orang yang sangat
dicintai Kaho.
Perlahan Kaho menyentuh foto itu. Jarinya menelusuri
setiap lekuk wajah Hikaru yang tegas. Dengan perlahan perasaan sesak menyusup
ke dalam dada. Senyum khas miliknya, dahi lebar yang sering dipamerkannya,
kedua gigi gingsulnya, kini Kaho tidak bisa lagi melihatnya.
“Chotto isshoni itakatta...”
Air mata Kaho kembali meleleh bagitu dia mengingat
kata-kata terakhir Hikaru sebelum dia menghembuskan nafasnya.
“Aishiteru yo, Kaho...zutto...”
Tangisan Kaho semakin keras. Dia pun memeluk album foto
tersebut dengan erat dan membenamkan wajahnya disana. Ini adalah kali pertama
dia menangis seperti ini semenjak kematian Hikaru dan dia tidak ingin Haruma
melihatnnya dalam keadaan yang seperti ini.
**
“Nih!” Haruma menyodorkan segelas coklat panas ke arah
Kaho. Haruma juga menyodorkan sebuah kain basah kepada Kaho yang kini matanya
sedikit sembab.
“Arigatou, Miura-san,” ucap Kaho sambil menerima
segelas coklat dan kain basah yang ditawarkan Haruma. Haruma hanya tersenyum,
dan mengambil tempat di kursi yang dia tarik dan ditaruhnya di samping tempat
tidur Kaho.
“Sudah baikan?” tanya Haruma.
“Un.”
“Ternyata apa yang dikatakan teman-teman sekelas
tentangmu tidak semuanya benar.”
“Maksudmu?”
“Mereka bilang bahwa kau orang yang dingin dan susah
untuk diajak berbicara. Memang benar kau itu orang yang agak dingin, namun kau
itu orang yang mudah untuk diajak berbicara, hanya saja mereka hanya memerlukan
kesabaran untuk berbicara denganmu,” jelas Haruma.
“Terima kasih atas sindiranmu itu, Miura-san,” sahut Kaho
sambil sedikit tersenyum. “Apa yang dibicarakan oleh orang-orang di sekolah
memang benar. Aku adalah orang yang dingin dan susah untuk diajak berbicara.
Dan tidak sedikit pula orang yang mencemoohku dari belakang. Mencemooh semua
yang ada padaku, terutama luka-luka yang sering aku derita. Maka dari itu, aku
tidak mau kamu terseret karena aku, menjadi bahan pembicaraan orang lain.”
“Baka! Kalau aku takut untuk digosipkan, aku pasti
akan menjauhimu,” sahut Haruma. “Gosip yang menyebar tentangmu di sekolah sedikit
membuatku penasaran, dan aku sedikit memperhatikanmu.”
“Gassai Yuno[1]mitai.”
“Hah? Ga-Gassai Yuno? Dare?”
“Jangan bilang kau tidak pernah menonton anime?”
“Aku tidak terlalu suka dengan hal itu...”
“Hhh, sudahlah lupakan saja.”
“Jadi, apakah kamu mau memberitahuku, hubungan antara
kamu dengan orang yang bernama Kudou?” ujar Haruma.
“Aku tidak ingin melibatkanmu, Miura-san,” sahut Kaho.
“Walaupun kau tidak ingin, tapi sudah terlambat.”
Kaho bungkam ketika Haruma berbicara seperti itu. Memang
benar, Haruma sudah mengetahui masalah apa yang tengah dihadapi Kaho walaupun
tidak secara garis besar. Namun Kaho tidak ingin orang lain terluka lagi karena
dirinya.
“Aku tidak...”
“Aku akan membantumu, Iwata-san. Bekerja berdua itu lebih
baik daripada sendiri, lagi pula aku tahu dimana Kudou yang kau cari.”
“Eh?!”
“Sejak kejadian malam itu, kamu tidak sadarkan diri
selama tiga hari dan aku sengaja mencari informasi tentang Kudou. Tentu saja
orang yang bernama Kudou itu tidak sedikit, namun aku segera mengenali lambang yakuza
yang mereka pakai tempo hari saat berhadapan dengan kita. Dan hasilnya, aku
tahu dimana kediaman Kudou sekarang, hanya saja jika aku menyerang mereka
sendiri, sama saja aku hanya mengantarkan nyawa tanpa tahu sebenarnya apa yang
sedang terjadi.”
“Jadi dimana Kudou sekarang?”
“Aku akan memberitahumu jika kau menjelaskan apa yang
sebenarnya terjadi diantara kalian.”
Kaho tidak memiliki pilihan lain selain menjelaskan apa
yang sebenarnya terjadi. Kemudian Kaho segera memulai ceritanya. Dimulai dari
kematian ayahnya yang mendadak, Ibunya yang kemudian sakit-sakitan dan harus
meninggal dan kematian Hikaru yang tengah menolongnya.
“Kejadiannya setahun yang lalu. Ayahku adalah seorang
pengacara,” ucap Kaho. “Waktu itu dia sedang menangani klien yang sedang
bermasalah dengan salah satu teman bisnisnya. Klien tersebut menuntut teman
bisnisnya karena merasa telah dibohongi dalam berbisnis. Namun, ayahku harus
mati di tangan seorang yakuza. Polisi yang menangani kasus tersebut tidak
bisa membuktikan adanya hubungan antara yakuza yang telah membunuh
ayahku dengan teman bisnis klien ayahku, dan juga siapa yakuza yang
telah membunuhnya, sehingga kasus terpaksa ditutup.
Kemudian secara tidak sengaja Hikaru mengenal siapa yakuza
yang telah membunuh ayahku, dan dia adalah Kudou. Untuk kali pertama aku tidak
begitu memusingkan siapa dia, toh, memang itu resiko seorang pengacara. Namun
semuanya berubah, ketika beberapa yakuza datang ke rumah dan memeras
kami. Mereka mengatakan bahwa ayah terlibat hutang dengan mereka. Aku tahu itu
hanyalah alasan mereka saja. Mereka memeras kami, menghancurkan segala isi
rumahku itu semata-mata hanya untuk kesenangan saja. Sehingga suatu hari saat
mereka datang lagi ke rumahku, aku menghajar satu orang dari mereka, dan
memaksa mereka untuk keluar. Hal itu berhasil namun karena kecerobohanku, aku
harus kembali kehilangan orang yang sangat aku sayangi.”
Ada jeda sebelum Kaho melanjutkan ceritanya. Kaho
menghela nafas berat dan memulai kembali ceritanya.
“Waktu itu aku pergi ke supermarket yang berada di depan
stasiun bersama Hikaru, kami berbelanja untuk keperluan festival sekolah esok
hari. Namun saat jalan pulang, kami tidak sengaja berpapasan dengan yakuza-yakuza
itu dan Kudou. Yakuza yang pernah kuhajar tempo hari mengenaliku
sehingga dalam waktu singkat kami berhadapan kembali. Dan malam itu
keberuntungan sama sekali tidak ada padaku. Mau tidak mau, kami terlibat
perkelahian. Hikaru yang berasal dari klub kendo merasa tidak masalah menanganinya,
begitu juga aku yang berasal dari klub taekwondo. Namun semua berakhir,
ketika Kudo menggunakan pisau. Seharusnya pisau itu menancap di tubuhku, namun
Hikaru melindungiku sehingga dia yang harus menerima pisau tersebut.”
“Lalu, apa yang kau lakukan jika sudah bertemu dengan
Kudou?” ujar Haruma.
“Entahlah, mungkin menghajarnya sampai puas,” sahut Kaho
sambil menandaskan isi gelas yang tengah ia pegang. “Atau mungkin membunuhnya.”
“Kau...”
“Hahaha, tenang saja aku hanya bercanda kok, tidak mungkin
aku membunuhnya karena aku tidak ingin disamakan oleh mereka.”
“Haha...” Haruma tidak begitu yakin dengan ucapan Kaho
mengingat kejadian tiga hari lalu, jika dia tidak menghentikannya mungkin Kaho
akan membunuh pemuda pirang tersebut.
“Sore de, kare no
basho oshiete kure, kemudian apa langkah selanjutnya, Miura-san?”
“Pertama-tama, panggil aku Haruma.”
**
Kaho tidak percaya sekarang dia tengah berada di
kerumunan orang-orang yang terus berdatangan. Hari ini festival sekolah
diselenggarakan dan pengunjung yang datang terus bertambah seiring berjalannya
waktu. Kaho terjebak dalam kerumunan tersebut dan terbawa arus sehingga dia
dapat menelepaskan diri sepuluh menit kemudian.
“Dimana ini?” guman Kaho. Walaupun sudah tiga bulan
semenjak kedatangannya di sekolah, Kaho tetap saja tidak bisa menghafal setiap
sudut sekolah yang cukup luas. Selama setahun ini, kaho sudah tiga kali
berpindah sekolahan, semua itu dilakukan hanya untuk mencari Kudou.
Kaho pun memutuskan untuk bergerak mencari jalan keluar.
Dia teringat perkataan Haruma tempo hari. Untuk langkah pertama, Kaho harus
menyembuhkan semua luka-lukanya, dan menghindari pertengkaran dengan orang
lain, karena Haruma menduga semua luka yang Kaho derita merupakan hasil dari
pertengkarannya dengan geng-geng pemuda lainnya dalam mencari Kudou. Kemudian
Kaho juga harus datang ke acara festival sekolah untuk sekedar menyegarkan
pikirannya.
“Aku tidak mengerti jalan pikiran orang itu, jika seperti
ini, ini bukan menyegarkan pikiran namanya,” gumam Kaho. Akhir-akhir ini, luka
di tubuh Kaho mulai membaik. Biru lebam di dahinya sudah hilang, Kaho sudah
tidak pelu lagi memakai plester di ujung bibirnya, luka di telapak kanan
kirinya sudah menutup dan kering walau menyisakan sebuah bekas, luka sayatan di
lengan kirinya juga sudah sembuh, tinggal di pergelangan kaki dan paha kanannya
yang sedang dalam masa penyembuhan.
Kaho merutuki dirinya sendiri karena tidak memiliki nomor
ponsel Haruma. Dia sudah berjalan selama lima belas menit, dan luka di kakinya
sedikit terasa sakit. Jika tahu seperti ini, seharusnya dia tidak datang dan
memilih untuk diam di rumah. Kaho pun akhirnya menyerah dan memutuskan untuk
duduk di bangku terdekat.
“Aa, ini dimana ya?” gumam Kaho.
“Kaho?”
Kaho yang tengah melamun di kagetkan oleh orang yang
memanggil namanya. Saat mendongakan kepalanya, ternyata Haruma sudah berada di
depannya dengan mafas yang terengah-engah. Entah kenapa, akhir-akhir ini dia
memanggil Kaho dengan namanya, bukan lagi dengan nama keluarganya. Kaho tidak
keberatan dengan itu, hanya saja dia masih belum bisa memanggil Haruma tanpa
nama keluarganya.
“Miura-san?”
“Syukurlah kau tidak apa-apa?”
“Eh?”
“Tadi aku sempat melihatmu tidak bisa bergerak di pintu
masuk. Gomen, seharusnya aku tidak menyuruhmu untuk menunggu di sana,”
ucap Haruma sambil menangkupkan kedua tangannya.
“Tidak apa-apa, kok,” sahut Kaho.
“Hontou? Lalu kaki mu?”
“Baik-baik saja,” jawab Kaho sedikit bohong. Dia tidak
mau membuat Haruma semakin khawatir tentang dirinya. Kaho tidak mau lagi
merepotkan Haruma lebih dari sekarang, memberikan tempat tinggal gratis di
rumahnya, makanan, pakaian, dan usahanya dalam mencari Kudou.
“Ikou,” ujar Haruma. Kaho pun berdiri dan
mengikuti Haruma yang berjalan di depannya. Sebenarnya Kaho masih
bertanya-tanya, mengapa Haruma menolongnya? Mengapa dia mempedulikan dirinya,
padahal dia sudah terbiasa untuk sendiri dan tidak ingin orang lain terlibat
dalam masalahnya.
“Kau lapar, Kaho?”
“Eh?”
“Apakah kau lapar?”
“Tidak begitu, sih. Kenapa?”
“Kita ke stand yang di sana, yuk.”
“Mi-Miura-san...”
“Sudah kubilang, panggil nama depanku saja, Kaho,”
“Ti-tidak mungkin, aku tidak bisa! Orang-orang akan
mengira kalau kita itu...”
“Mengira apa? Pacaran? Aku tidak keberatan dengan itu.”
“Eh?!Demo...”
Haruma membalikkan tubuhnya dan langsung menggandeng
tangan kanan Kaho yang bebas. Orang-orang disekitar mereka memperhatikan apa
yang Haruma lakukan, dan itu membuat wajah Kaho sedikit memerah.
“Lepaskan tanganmu, Miura-san.”
“Tidak, sampai kau bisa memanggil nama depanku.”
“Baiklah, lepaskan tanganmu, Haru-kun.”
“Tidak, aku tidak mau melepaskannya.”
“Cu-curang! Tadi kau bilang kau akan melepaskannya
jika...”
“Aku mencintaimu, Kaho.”
“Eh?”
Pegangan tangan Haruma semakin menguat dan sedikit berkeringat.
Kaho yakin Haruma sedang tidak bercanda, namun dia tidak tahu harus bersikap
seperti apa, karena sampai sekarang dia masih mencintai Hikaru. Maka dari itu
Kaho memilih untuk diam dan membiarkan Haruma membawa dirinya dari stand satu
ke stand lainnya.
Dan akhirnya sampailah mereka di atap gedung sekolah.
Haruma membawa Kaho kesini dan menikmati makanan dan minuman yang baru saja
dibelinya. Semenjak Haruma mengatakan dia mencintai dirinya, Kaho tidak
berbicara sedikitpun.
“Saki, gomen,” ucap Haruma memecahkan keheningan. “Seharusnya
aku tidak mengatakan hal itu. Tapi aku tidak bercanda, Kaho. Aku benar-benar
menyukaimu.”
Ada jeda yang cukup panjang sebelum Kaho berbicara.
“A-aku juga, menyukaimu, Haru-kun, hanya saja perasaanku
tidak lebih dari teman biasa, Gomen,” jawab Kaho.
“Aku tahu kok,” sahut Haruma sambil tersenyum. “Aku hanya
ingin mengatakannya kepadamu dan tidak mau membohongi diriku.”
Kaho hanya tersenyum menanggapi ucapan Haruma dan
melanjutkan makannya yang tertunda. Dari atap gedung ini, Kaho menikmati
pemandangan yang berada di bawahnya. Teman-teman sekolahnya yang sedang
mempromosikan acara kelasnya, penampilan band di sudut sekolah, pengunjung yang
sedang menikmati makanan atau sekedar duduk di taman sekolah, hingga orang-orang
yang keluar-masuk gerbang sekolah. Sedetik kemudian Kaho merasa tidak percaya
dengan indra penglihatannya. Kaho berdiri dan melangkah maju ke pinggir atap
agar bisa melihatnya dengan jelas, dan hatinya mencelos begitu tahu subjek yang
merebut perhatiannya adalah, Kudou.
“Masaka...”
“Ada apa?” tanya haruma yang sedikit penasaran dengan
tindakan Kaho yang tiba-tiba.
“Aku melihat Kudou di bawah.”
Haruma tersedak yakisoba pan yang ia makan.
Kemudian Haruma menghampiri Kaho dan memperhatikan tempat yang ditunjuk Kaho.
Untuk pertama Haruma tidak dapat melihat apa-apa selain kerumunan orang, namun
saat kerumunan itu mereda, Haruma dapat melihat apa yang tadi dibicarakan Kaho,
yaitu Kudou dan beberapa anak buahnya.
“Yabbe! Tidak mungkin mereka mencari kita sampai
kesin?!” ujar Haruma.
“Eh, maksudmu?”
“Gomen, Kaho. Beberapa hari yang lalu sempat
beberapa orang yag mencariku saat aku tidak ada, dan aku yakin itu adalah salah
satu dari mereka.”
“Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“Entahlah, kau tidak mungkin melawan mereka mengingat
luka di kakimu masih belum sembuh sepenuhnya. Tidak ada cara lain selain kita
menghidari mereka.”
“Tidak! Aku tidak mau!”
“Kaho, ku mohon, kau bukan dalam kondisi yang siap untuk
berkelahi dengan mereka.”
Hening, tidak ada jawaban sama sekali. Saat Haruma
menengok ke samping dan ke belakang, Kaho sudah tidak ada dan samar-sama Haruma
mendengar bunyi sepatu yang sedang menuruni tangga. Haruma langsung berlari
menyusul mengikuti Kaho dan meninggalkan semua makanannya di atap gedung.
[1]Karakter di anime Mirai Nikki.
Gassai Yuno adalah perempuan yang dianggap oleh Amano Yukiteru sebagai
penguntit karena mengetahui segala tentang dirinya.
つづく

Tidak ada komentar:
Posting Komentar