Read more at http://lenterablogger.blogspot.com/2012/04/cara-buat-auto-read-more.html#jdBSQSIVISDqbFPD.99

Sabtu, 01 Desember 2012

To the Beginning ~ Taiyou no Hana (始まりへ~太陽の花 ) Part 1


 Kimi no ibasho wa koko ni aru
Tohoshinki - Bolero


BRAKK!!
Lagi. Tubuh itu kembali terbentur dengan dinding pertokoan yang berada di samping kanannya. Kakinya sudah tidak kuat lagi untuk berjalan, tubuhnya penuh luka dimana-mana, namun dia tidak menyerah untuk melanjutkan perjalanannya. Tangan kirinya menyentuh dinding, menopang badannya untuk segera berdiri dan kembali berjalan. Namun hal itu tidak bekerja dan dia kembali terjatuh. Kali ini dia menyerah dan memutuskan untuk beristirahat sejenak. Dia membetulkan duduknya dan mengambil tas miliknya yang terjatuh tak jauh darinya.
Itte…
Tidak sengaja luka di telapak tangan kirinya bersinggungan dengan material tas yang sedikit kasar. Sejenak dia memandang lukanya itu dan mengingat kembali kejadian yang membuat dunianya berubah 180 derajat.
Kusso...” ucapnya.
Saat menengok ke kanan, tidak sengaja dia melihat pantulan wajahnya di papan toko yang terbuat dari alumunium. Sejenak dia memandang pantulan dirinya tersebut. Raut wajahnya menunjukan bahwa dia sudah kelelahan dan jauh sekali dari kata perempuan.
“Berantakan sekali,” ujarnya. Dia pun memutuskan untuk kembali berjalan. Diambil tasnya dengan tangan kanan, dan disampirkan di bahu kanannya. Walaupun tubuhnya sudah menjerit kesakitan akibat luka yang dia derita, dia harus pergi dari tempat itu karena dia tidak mau dianggap ‘gembel’ karena tidur di pinggir pertokoan. Setidaknya dia tidak harus berjalan jauh lagi, karena apartemen miliknya tidak begitu jauh dari pusat pertokoan itu.
**
“Iwata Kaho.”
Hai!”
“Ke-kenapa dengan wajahmu itu?” tanya Kobayashi sensei.
“Oh, tidak apa-apa, kok, pak. Hanya tergelincir dari tangga apartemen saja,” sahut Kaho. Kobayashi sensei hanya menggelengkan kepalanya. Tentu saja jatuh dari tangga tidak mungkin seperti itu. Plester yang menempel di ujung bibir, biru lebam di sekitar dahi, mata kiri yang menggunakan penutup mata dan juga tangan kiri yang diperban dengan rapih. Kobayashi sensei hanya menghela nafas ringan, sudah tidak aneh bagi dia kalau melihat Kaho luka-luka seperti itu.
“Lain kali, berhati-hatilah, Iwata-san,” ujar Kobayashi sensei dan melanjutkan kembali pengabsenannya yang tertunda. Kaho hanya menyahut singkat ucapan senseinya tersebut. Tiba-tiba Kaho merasa seperti ada yang memperhatikan dirinya. Saat menengok ke samping kanan, benar saja ada seorang pemuda yang memperhatikannya. Walau pun sekelas, Kaho tidak mengenal pemuda itu. Kaho tidak peduli berapa lama lagi pemuda itu akan menatapnya, karena Kaho sudah terbiasa dengan tatapan-tatapan aneh dan juga mencemooh yang orang-orang tujukan kepadanya.
Pengabsenan telah selesai dan dilanjut dengan pelajaran berikutnya. Kobayashi sensei adalah guru matematika sekaligus wali kelas Kaho. Kaho mencatat malas semua rumus yang Kobayashi sensei tulis di papan tulis. Sesekali matanya mengarah ke jendela, menatap lapangan sekolah yang kosong, jika sudah jenuh melihat angka-angka yang bertebaran di papan tulis.
“Apakah hari ini akan membosankan lagi? batin Kaho.
**
TENG…TENG…TENG…TENG…
Kaho merapihkan alat tulisnya dan memasukannya dengan asal ke dalam tas. Kemudian dia pun segera beranjak dari tempatnya dan keluar kelas tanpa mempedulikan orang-orang yang tengah memperhatikan lukanya. Tidak seorang siswa pun di sekolah yang menyapanya. Tidak, Kaho tidak sedang di bully, hanya saja orang yang pernah mengajaknya berbicara, ditanggapinya dengan dingin dan dari situlah orang-orang agak segan untuk mengajaknya berbicara.
Hari itu Kaho tidak langsung pulang ke apartemennya. Dia sengaja mampir di sebuah kedai yang tidak jauh dari stasiun. Sejak semalam, dia belum makan apa-apa, dan tadi jam istirahat pun dipakainya tidur di ruang kesehatan. Setibanya di tempat, Kaho sedikit terkejut karena suasana kedai agak ramai, dan Kaho menempati tempat duduk yang kosong di pojok ruangan. Setelah memesan makanan, Kaho memainkan ponsel miliknya sambil menunggu pesanannya datang. Namun Kaho merasa terganggu dengan segerombolan orang yang duduk di meja sebelah. Kaho melirik orang-orang tersebut dan tidak terlalu terkejut bahwa orang-orang yang duduk di meja sebelah adalah sekumpulan pemuda bar-bar. Pembicaraan mereka pun terdengar jelas oleh Kaho, dan Kaho sedikit kaget saat mendengar pembicaraan mereka.
Aniki, mau kita apakan uang rampokan ini?”
Mata Kaho membulat saat mendengar ucapan tersebut. Kaho tidak tahu siapa yang berbicara, dan sedetik kemudian, mereka seperti kehilangan suara. Hening. Kaho tahu, salah satu dari mereka menyuruh untuk diam dan memastikan sekitarnya bahwa tidak ada yang mendengar ucapan tadi.
Baka! Membicarakan hal seperti itu di tempat umum dengan suara keras!” Batin Kaho. Kaho pun terus berpura-pura tidak peduli dan kemudian kelompok bar-bar itu membahas masalah tersebut dengan suara yang dipelankan. Mereka berbisik, namun tetap saja masih terdengar jelas di telinga Kaho.
Dasar amatir!” umpatnya dalam hati. Dia pun melirik ke meja sebelah dan melihat tas yang sedang mereka bicarakan berada di bawah meja. Ternyata mereka merampok tas tersebut dari seorang kakek. Kaho tersentak begitu mereka membicarakan bagaimana ekspresi si kakek saat berhadapan dengan mereka. Mereka membicarakannya seakan itu adalah sebuah tontonan humor dan menertawakannya dengan sangat keras.
Aniki, apakah Kudou-sama akan marah jika beliau tahu kita melakukan hal ini?”
“Tidak perlu khawatir, jika kita tidak memberitahu dia”.
Jantung Kaho berdegup kencang saat mendengar mereka menyebut nama Kudou. Selama ini dia terus mencari Kudou, orang yang telah menghancurkan keluarganya. Mata Kaho semakin membulat dan sedikit memanas, nafasnya berat menahan rasa marahnya, mulutnya terkunci dengan rapat, menjaga agar dia tidak ceroboh mengumpat orang-orang itu agar dia bisa mengorek informasi tentang Kudou dari mereka.
Omataseshimashita!
Pesanan Kaho sudah datang, dan sang waitress segera menaruh makanan dan minumannya di atas meja Kaho. Entah datang darimana, Kaho mempunyai sebuah ide untuk mengorek informasi tentang Kudou dari mereka. Saat waitress tersebut hendak pergi, Kaho memanggilnya kembali dan meminta bill dari makanan yang dia pesan. Sambil menunggu, Kaho melahap makanannya sedikit cepat dan terus mempertajam indra pendengarannya untuk mendengar percakapan mereka. Saat waitress itu datang kembali, Kaho dengan sengaja menjatuhkan sendok dan garpu yang berada di mejanya. Waitress tersebut dengan gesit membantu Kaho dan membereskan sisa makanan yang berceceran di lantai. Kaho kemudian menaruh uang untuk membayar makanannya di nampan yang berisis bill miliknya, dan segera membantu waitress tersebut sambil mengucapkan kata maaf. Kaho melirik ke arah pemuda bar-bar tersebut. Mereka tidak memperhatikan apa yang Kaho lakukan, dan dengan sangat berhati-hati, Kaho menggeser tas berwarna hijau tersebut agar mudah saat dia mengambilnya.
Sumimasen deshita,” ujar Kaho sambil membungkukkan tubuhnya. Sang waitress hanya tersenyum dan mengatakan seharusnya dia yang meminta maaf. Saat waitress itu pergi, Kaho berjongkok, berpura-pura mengelap sepatunya yang terkena noda makanan dan kemudian dengan gesit Kaho langsung mengambil tas hijau itu dan pergi dari kedai tersebut. Mereka pun menyadari bahwa tas hasil rampokannya telah hilang dan langsung mengejar Kaho yang baru saja meninggalkan kedai.
**
Iwata Kaho memandang nanar kepada lima pemuda di hadapannya. Lima pemuda bar-bar yang baru saja ditemuinya disebuah kedai. Tangan kanannya memegang lengan kirinya yang terluka akibat sayatan pisau yang baru saja dilayangkan oleh salah satu pemuda di hadapannya. Tidak, dia tidak takut. Kaho tidak merasa takut meskipun dikepung oleh sepuluh pemuda sekalipun, dia hanya merasa jijik dengan kelakuan pemuda-pemuda di hadapannya ini.
“Berani sekali kau mengambil uang milik kami!” ucap pemuda di hadapannya. Kaho mendengus saat mendengar kata-kata yang dilontarkan oleh pemuda tersebut. Ingin sekali dia tertawa sekencang-kencangnya namun belum sempat tertawa, pemuda tersebut menarik kerah Kaho.
“Ada yang lucu, hah?!!” bentaknya. Kaho hanya memandang dingin pemuda tersebut. Merasa tidak ada tanggapan sama sekali, pemuda tersebut melepaskan Kaho dan mendorongnya. “Cih!”
“Jika kau menurut, mungkin kami tidak akan melakukan hal ini kepadamu!” ujar salah satu dari mereka. Kaho tidak mempedulikan omongan pemuda itu dan dengan santainya Kaho merapihkan kerah bajunya yang sedikit berantakan dan mengambil tas miliknya yang tergeletak tepat di depan pemuda yang baru saja angkat bicara. Merasa tidak dipedulikan dan tidak dihargai, pemuda itu langsung mengacungkan pisau lipatnya tepat di mata Kaho.
“Kenapa kau tidak melanjutkannya?” ucap Kaho, provokasi. Sang pemuda hanya menggeram marah dan menendangi barang-barang yang berada di dekatnya. Sementara Kaho, dia langsung mundur sebanyak dia melangkah ke depan tadi.
“Jangan sombong kau!” tukas pemuda disebelahnya. Pemuda dengan rambut pirang dengan gaya yang bagi Kaho sangat absurd.Kaho menghela nafas bosan. Sudah hampir 20 menit dia dalam posisi seperti ini.
“Apa yang kalian mau dariku?” tanya Kaho. Pemuda yang memegang pisau tadi langsung mendekati Kaho dan menarik kerah baju miliknya. Kini mata Kaho dan pemuda itu segaris walau Kaho harus menjinjitkan kakinya dan harus tersiksa dengan rasa sesak yang ditimbulkan dari kerah bajunya yang tertarik.
“Kembalikan tas yang kau ambil itu,” geram pemuda itu.
“Aku akan mengembalikannya kepada orang yang seharusnya, bukan kepada kalian,” sahut Kaho tenang.
Punggung Kaho beradu dengan tembok dingin di belakangnya. Pemuda itu menghempaskan tubuh Kaho ke belakang setelah Kaho berbicara seperti itu. Pemuda itu sudah kehabisan akal untuk mengorek informasi dari Kaho. Tas yang berisi berlembar-lembar uang yen yang mereka ambil dari seorang kakek kini disembunyikan oleh Kaho yang secara tidak sengaja mendengar percakapan mereka tentang aksi pencopetan mereka di sebuah kedai.
“Sudah kubilang jangan sombong karena sedari tadi kita tidak melakukan kekerasan kepadamu!” ujar pemuda berambut pirang absurd itu.Cih, apanya yang tidak melakukan kekerasan! Apakah tadi menyayat lengan kiriku dan mendorongku itu tidak terasuk dalam kekerasan? batin Kaho. “Kalau tidak…”
“Kalau tidak kalian akan membunuhku?” ucap Kaho memotong pembicaraan pemuda pirang itu. Kaho yang kini terduduk hanya tersenyum mendengar ancaman yang baginya hanyalah sekedar suara seekor nyamuk. Senyuman Kaho semakin melebar ketika Kaho tidak sengaja menangkap keraguan dari wajah beberapa teman-temannya yang sedari tadi memilih untuk bungkam.
BRAAKK!!!  
Pemuda pirang absurd itu menendang dinding tepat di samping kanan telinga Kaho. Kaho sedikit terkejut dan merasa agak pusing dengan suara yang ditimbulkan dari kejadian barusan.
“Cepat beritahu dimana tas itu kau sembunyikan!!” ucap pemuda pirang itu setengah berteriak.
“Beritahu dulu dimana Kudou sekarang!” sahut Kaho. Hening, dan pemuda pirang tersebut tersenyum sinis.
Moshikashite...” ucap pemuda pirang tersebut sambil memperhatikan wajah Kaho dan dia pun teringat percakapannya dengan Kudou tempo hari, tentang seorang gadis yang suatu hari akan mencarinya. Saat pemuda pirang itu hendak berbicara. Tiba-tiba ada seseorang yang berteriak ke arahnya.
“DI SANA!! MEREKA YANG MENGAMBIL TAS ITU!!!”
Semua langsung menengok ke arah sumber suara. Kaho menyipitkan matanya untuk mengenali siapa yang berteriak tadi. Seorang wanita paruh baya dan seorang pemuda.
“PAK POLISI!!! MEREKA DI SINI!!!!”
Kini pemuda itu yang berteriak. Saat mendengar kata polisi, gerombolan pemuda di depan Kaho langsung resah. Satu persatu dari mereka melarikan diri dan yang tertinggal hanya pemuda pirang absurd dan pemuda yang menggenggam pisau.
“Urusan kita belum selesai sampai disini,deme!!” ancam pemuda pirang itu. Dan mereka pergi menyusul teman-temannya yang terlebih dahulu melarikan diri. Kaho mencoba berdiri dan mengambil tas yang tergeletak tak jauh darinya.  Lalu dia pun berjalan menghampiri wanita setengah baya dan pemuda itu yang juga sedang berlari ke arah tempat Kaho.
“Iwata-san, kau tidak apa-apa?” tanya pemuda itu. Pemuda tersebut adalah teman sekelas Kaho yang pagi tadi memperhatikannya. Kaho tidak percaya dia akan bertemu dengannya di konbini yang tidak begitu jauh dari stasiun.
Saat keluar dari kedai tadi, Kaho sebenarnya tidak tahu harus kemana, dia terus berlari dan akhirnya berbelok masuk ke sebuah konbini dan secara tidak sengaja bertemu dengan pemuda itu. Kejadiannya begitu cepat, Kaho langsung memberi tas yang berisi uang tersebut kepadanya dan menyuruh untuk membawanya ke kantor polisi. Kaho yakin, pasti di dalam tas tersebut ada identitas dari pemiliknya.
“Aku sudah menyerahkan tas itu kepada polisi,” ujar pemuda itu. “A, gomen, boku Haruma, Haruma Miura.”
“Kau anak pindahan itu?” tukas Kaho. Pemuda yang bernama Haruma pun mengangguk dan menjelaskan ketika dia pertama kali masuk sekolah Kaho sedang tidak masuk karena sakit.
“Akhir-akhir ini aku terus memperhatikanmu,” ucap Haruma.
“HAH?!”
“Eh, bukan, maksudnya kenapa kau terus mendapatkan luka setiap kau masuk sekolah, dan sebenarnya teman-teman sekelas pun mempertanyakan hal itu.”
“Ini bukan urusan kalian,” sahut Kaho dingin. “Aku baik-baik sa...”
Belum sempat Kaho menyelesaikan ucapannya, Haruma menarik lengan Kaho dan membawanya ke konbini tempatnya bekerja. Kaho yang masih shock atas tindakan Haruma tadi, hanya diam saja saat Haruma membawa dirinya ke ruangan yang seharusnya khusus pegawai.
“Duduklah, aku akan mengobati lukamu,” ujar Haruma. Kaho yang baru sembuh dari shock-nya, langsung berbalik dan berjalan ke arah satu-satunya pintu di ruangan tersebut. Namun Kaho kalah gesit dengan Haruma yang langsung menariknya kembali dan memaksa Kaho untuk duduk di salah satu sofa di ruangan itu.
“Menurutlah sedikit, walaupun kamu mengatakan tidak apa-apa, tubuhmu tidak bisa dibohongi. Lihat, darah di lengan kirimu masih mengalir, kau mau berjalan di luar dengan keadaan seperti ini?!” tukas Haruma.
“Bukan urusanmu,” sahut Kaho berbisik. Apa yang diucapkan Haruma memang benar, sekujur tubuhnya sudah sangat sakit.
“Kau tinggal dimana?” ucap Haruma memecahkan keheningan yang sempat terjadi.
“Apa boleh memasukan orang luar di ruangan ini?” sahut Kaho.
“Boleh saja, toh, toko ini punya keluargaku. Sekarang jawab pertanyaanku, dimana kau tinggal?”
“Kenapa?!”
“Aku akan mengantarmu. Tidak ada jaminan orang-orang tadi tidak akan kembali lagi kan, lagipula sepertinya kau sulit untuk berjalan.”
“Aku bisa sendiri, aww!!” Kaho mengaduh kesakitan ketika Haruma memegang pergelangan kaki kanannya. Padahal Haruma hanya sekedar menyentuh, tapi sakitnya luar biasa karena menjalar ke seluruh tubuh Kaho.
“Luka yang lain, huh?” tukas Haruma. “Sepertinya kamu senang sekali mendapatkan luka, Iwata-san. Jadi, kau masih ingin pulang sendiri?”
“Aku bisa sendiri,” sahut Kaho sedikit ketus. “Terima kasih, sudah merawat lukaku.”
Sedetik kemudian, Kaho mencoba untuk berdiri. Walau rasa sakit masih menyerang, Kaho tidak memiliki pilihan lain selain segera pergi dari ruangan ini. Dengan sedikit merasa sakit, Kaho pun berjalan menuju pintu yang merupakan akses keluar-masuk ruangan ini.
“Kau yakin?” ujar Haruma sedikit khawatir.
Ja, shitsureishimasu.”


つづく

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Catatan a_rahma Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review