Kimi no ibasho wa koko
ni aru
Tohoshinki - Bolero
BRAKK!!
Lagi.
Tubuh itu kembali terbentur dengan dinding pertokoan yang berada di samping
kanannya. Kakinya sudah tidak kuat lagi untuk berjalan, tubuhnya penuh luka
dimana-mana, namun dia tidak menyerah untuk melanjutkan perjalanannya. Tangan
kirinya menyentuh dinding, menopang badannya untuk segera berdiri dan kembali
berjalan. Namun hal itu tidak bekerja dan dia kembali terjatuh. Kali ini dia
menyerah dan memutuskan untuk beristirahat sejenak. Dia membetulkan duduknya
dan mengambil tas miliknya yang terjatuh tak jauh darinya.
“Itte…”
Tidak
sengaja luka di telapak tangan kirinya bersinggungan dengan material tas yang
sedikit kasar. Sejenak dia memandang lukanya itu dan mengingat kembali kejadian
yang membuat dunianya berubah 180 derajat.
“Kusso...”
ucapnya.
Saat
menengok ke kanan, tidak sengaja dia melihat pantulan wajahnya di papan toko
yang terbuat dari alumunium. Sejenak dia memandang pantulan dirinya tersebut.
Raut wajahnya menunjukan bahwa dia sudah kelelahan dan jauh sekali
dari kata perempuan.
“Berantakan
sekali,” ujarnya. Dia pun memutuskan untuk kembali berjalan. Diambil tasnya
dengan tangan kanan, dan disampirkan di bahu kanannya. Walaupun tubuhnya sudah
menjerit kesakitan akibat luka yang dia derita, dia harus pergi dari tempat itu
karena dia tidak mau dianggap ‘gembel’ karena tidur di pinggir pertokoan.
Setidaknya dia tidak harus berjalan jauh lagi, karena apartemen miliknya tidak
begitu jauh dari pusat pertokoan itu.
**
“Iwata
Kaho.”
“Hai!”
“Ke-kenapa
dengan wajahmu itu?” tanya Kobayashi sensei.
“Oh,
tidak apa-apa, kok, pak. Hanya tergelincir dari tangga apartemen saja,” sahut
Kaho. Kobayashi sensei hanya menggelengkan kepalanya. Tentu saja jatuh
dari tangga tidak mungkin seperti itu. Plester yang menempel di ujung bibir,
biru lebam di sekitar dahi, mata kiri yang menggunakan penutup mata dan juga
tangan kiri yang diperban dengan rapih. Kobayashi sensei hanya menghela
nafas ringan, sudah tidak aneh bagi dia kalau melihat Kaho luka-luka seperti
itu.
“Lain
kali, berhati-hatilah, Iwata-san,” ujar Kobayashi sensei dan melanjutkan
kembali pengabsenannya yang tertunda. Kaho hanya menyahut singkat ucapan
senseinya tersebut. Tiba-tiba Kaho merasa seperti ada yang memperhatikan
dirinya. Saat menengok ke samping kanan, benar saja ada seorang pemuda yang
memperhatikannya. Walau pun sekelas, Kaho tidak mengenal pemuda itu. Kaho tidak
peduli berapa lama lagi pemuda itu akan menatapnya, karena Kaho sudah terbiasa
dengan tatapan-tatapan aneh dan juga mencemooh yang orang-orang tujukan
kepadanya.
Pengabsenan
telah selesai dan dilanjut dengan pelajaran berikutnya. Kobayashi sensei
adalah guru matematika sekaligus wali kelas Kaho. Kaho mencatat malas semua
rumus yang Kobayashi sensei tulis di papan tulis. Sesekali matanya
mengarah ke jendela, menatap lapangan sekolah yang kosong, jika sudah jenuh
melihat angka-angka yang bertebaran di papan tulis.
“Apakah
hari ini akan membosankan lagi?” batin Kaho.
**
TENG…TENG…TENG…TENG…
Kaho
merapihkan alat tulisnya dan memasukannya dengan asal ke dalam tas. Kemudian
dia pun segera beranjak dari tempatnya dan keluar kelas tanpa mempedulikan
orang-orang yang tengah memperhatikan
lukanya. Tidak seorang siswa pun di sekolah yang menyapanya. Tidak, Kaho tidak
sedang di bully, hanya saja orang yang pernah mengajaknya berbicara, ditanggapinya dengan dingin dan
dari situlah orang-orang agak segan untuk mengajaknya berbicara.
Hari itu Kaho tidak langsung pulang ke apartemennya. Dia
sengaja mampir di sebuah kedai yang tidak jauh dari stasiun. Sejak semalam, dia
belum makan apa-apa, dan tadi jam istirahat pun dipakainya tidur di ruang
kesehatan. Setibanya di tempat, Kaho sedikit terkejut karena suasana kedai agak
ramai, dan Kaho menempati tempat duduk yang kosong di pojok ruangan. Setelah
memesan makanan, Kaho memainkan ponsel miliknya sambil menunggu pesanannya
datang. Namun Kaho merasa terganggu dengan segerombolan orang yang duduk di
meja sebelah. Kaho melirik orang-orang tersebut dan tidak terlalu terkejut
bahwa orang-orang yang duduk di meja sebelah adalah sekumpulan pemuda bar-bar.
Pembicaraan mereka pun terdengar jelas oleh Kaho, dan Kaho sedikit kaget saat
mendengar pembicaraan mereka.
“Aniki, mau kita apakan uang rampokan ini?”
Mata Kaho membulat saat mendengar ucapan tersebut. Kaho
tidak tahu siapa yang berbicara, dan sedetik kemudian, mereka seperti
kehilangan suara. Hening. Kaho tahu, salah satu dari mereka menyuruh untuk diam
dan memastikan sekitarnya bahwa tidak ada yang mendengar ucapan tadi.
“Baka! Membicarakan hal seperti itu di tempat umum
dengan suara keras!” Batin Kaho. Kaho pun terus berpura-pura tidak peduli
dan kemudian kelompok bar-bar itu membahas masalah tersebut dengan suara yang
dipelankan. Mereka berbisik, namun tetap saja masih terdengar jelas di telinga
Kaho.
“Dasar amatir!” umpatnya dalam hati. Dia pun
melirik ke meja sebelah dan melihat tas yang sedang mereka bicarakan berada di
bawah meja. Ternyata mereka merampok tas tersebut dari seorang kakek. Kaho
tersentak begitu mereka membicarakan bagaimana ekspresi si kakek saat
berhadapan dengan mereka. Mereka membicarakannya seakan itu adalah sebuah
tontonan humor dan menertawakannya dengan sangat keras.
“Aniki, apakah Kudou-sama akan marah jika beliau
tahu kita melakukan hal ini?”
“Tidak perlu khawatir, jika kita tidak memberitahu dia”.
Jantung Kaho berdegup kencang saat mendengar mereka
menyebut nama Kudou. Selama ini dia terus mencari Kudou, orang yang telah
menghancurkan keluarganya. Mata Kaho semakin membulat dan sedikit memanas,
nafasnya berat menahan rasa marahnya, mulutnya terkunci dengan rapat, menjaga
agar dia tidak ceroboh mengumpat orang-orang itu agar dia bisa mengorek
informasi tentang Kudou dari mereka.
“Omataseshimashita!”
Pesanan Kaho sudah datang, dan sang waitress segera
menaruh makanan dan minumannya di atas meja Kaho. Entah datang darimana, Kaho
mempunyai sebuah ide untuk mengorek informasi tentang Kudou dari mereka. Saat
waitress tersebut hendak pergi, Kaho memanggilnya kembali dan meminta bill dari
makanan yang dia pesan. Sambil menunggu, Kaho melahap makanannya sedikit cepat
dan terus mempertajam indra pendengarannya untuk mendengar percakapan mereka.
Saat waitress itu datang kembali, Kaho dengan sengaja menjatuhkan sendok dan
garpu yang berada di mejanya. Waitress tersebut dengan gesit membantu Kaho dan
membereskan sisa makanan yang berceceran di lantai. Kaho kemudian menaruh uang
untuk membayar makanannya di nampan yang berisis bill miliknya, dan segera
membantu waitress tersebut sambil mengucapkan kata maaf. Kaho melirik ke arah
pemuda bar-bar tersebut. Mereka tidak memperhatikan apa yang Kaho lakukan, dan
dengan sangat berhati-hati, Kaho menggeser tas berwarna hijau tersebut agar
mudah saat dia mengambilnya.
“Sumimasen deshita,” ujar Kaho sambil
membungkukkan tubuhnya. Sang waitress hanya tersenyum dan mengatakan seharusnya
dia yang meminta maaf. Saat waitress itu pergi, Kaho berjongkok, berpura-pura
mengelap sepatunya yang terkena noda makanan dan kemudian dengan gesit Kaho
langsung mengambil tas hijau itu dan pergi dari kedai tersebut. Mereka pun
menyadari bahwa tas hasil rampokannya telah hilang dan langsung mengejar Kaho
yang baru saja meninggalkan kedai.
**
Iwata Kaho memandang nanar kepada lima pemuda di
hadapannya. Lima pemuda bar-bar yang baru saja ditemuinya disebuah kedai. Tangan kanannya memegang lengan kirinya yang terluka akibat sayatan
pisau yang baru saja dilayangkan oleh salah satu pemuda di hadapannya. Tidak,
dia tidak takut. Kaho tidak merasa takut meskipun dikepung oleh sepuluh pemuda
sekalipun, dia hanya merasa jijik dengan kelakuan pemuda-pemuda di hadapannya
ini.
“Berani sekali kau mengambil uang milik kami!” ucap
pemuda di hadapannya. Kaho mendengus saat mendengar kata-kata yang dilontarkan
oleh pemuda tersebut. Ingin sekali dia tertawa sekencang-kencangnya namun belum
sempat tertawa, pemuda tersebut menarik kerah Kaho.
“Ada yang lucu, hah?!!” bentaknya. Kaho hanya memandang
dingin pemuda tersebut. Merasa tidak ada tanggapan sama sekali, pemuda tersebut
melepaskan Kaho dan mendorongnya. “Cih!”
“Jika
kau menurut, mungkin kami tidak akan melakukan hal ini kepadamu!”
ujar salah satu dari mereka. Kaho tidak
mempedulikan omongan pemuda itu dan dengan santainya Kaho merapihkan kerah bajunya yang sedikit
berantakan dan mengambil tas miliknya yang
tergeletak tepat di depan pemuda yang baru saja angkat bicara. Merasa tidak
dipedulikan dan tidak dihargai, pemuda itu langsung mengacungkan pisau lipatnya
tepat di mata Kaho.
“Kenapa
kau tidak melanjutkannya?” ucap Kaho, provokasi.
Sang pemuda hanya menggeram marah dan menendangi barang-barang yang berada di
dekatnya. Sementara Kaho, dia langsung mundur sebanyak dia melangkah ke depan tadi.
“Jangan
sombong kau!” tukas pemuda disebelahnya. Pemuda dengan rambut pirang dengan
gaya yang bagi Kaho sangat absurd.Kaho menghela nafas
bosan. Sudah hampir 20 menit dia dalam posisi seperti ini.
“Apa
yang kalian mau dariku?” tanya Kaho. Pemuda yang
memegang pisau tadi langsung mendekati Kaho dan menarik
kerah baju miliknya. Kini mata Kaho dan pemuda itu
segaris walau Kaho harus menjinjitkan kakinya dan harus tersiksa dengan rasa sesak
yang ditimbulkan dari kerah bajunya yang tertarik.
“Kembalikan
tas yang kau ambil itu,” geram pemuda itu.
“Aku
akan mengembalikannya kepada orang yang seharusnya, bukan kepada kalian,” sahut
Kaho
tenang.
Punggung
Kaho
beradu dengan tembok dingin di belakangnya. Pemuda itu menghempaskan tubuh Kaho ke
belakang setelah Kaho berbicara seperti itu. Pemuda itu sudah kehabisan akal untuk
mengorek informasi dari Kaho. Tas yang
berisi berlembar-lembar uang yen yang mereka ambil dari seorang kakek kini
disembunyikan oleh Kaho yang secara tidak sengaja mendengar percakapan mereka tentang aksi
pencopetan mereka di sebuah kedai.
“Sudah
kubilang jangan sombong karena sedari tadi kita tidak melakukan kekerasan
kepadamu!” ujar pemuda berambut pirang absurd itu.“Cih,
apanya yang tidak melakukan kekerasan! Apakah tadi menyayat lengan kiriku dan
mendorongku itu tidak terasuk dalam kekerasan?”
batin Kaho. “Kalau tidak…”
“Kalau
tidak kalian akan membunuhku?” ucap Kaho memotong pembicaraan
pemuda pirang itu. Kaho yang kini terduduk hanya tersenyum mendengar ancaman yang baginya
hanyalah sekedar suara seekor nyamuk. Senyuman Kaho
semakin melebar ketika Kaho tidak sengaja menangkap keraguan
dari wajah beberapa teman-temannya yang sedari tadi memilih untuk bungkam.
BRAAKK!!!
Pemuda
pirang absurd itu menendang dinding tepat di samping kanan telinga Kaho. Kaho
sedikit terkejut dan merasa agak pusing dengan suara yang ditimbulkan dari
kejadian barusan.
“Cepat
beritahu dimana tas itu kau sembunyikan!!” ucap pemuda pirang itu
setengah berteriak.
“Beritahu dulu dimana Kudou sekarang!” sahut Kaho.
Hening, dan pemuda pirang tersebut tersenyum sinis.
“Moshikashite...” ucap pemuda pirang tersebut
sambil memperhatikan wajah Kaho dan dia pun teringat percakapannya dengan Kudou
tempo hari, tentang seorang gadis yang suatu hari akan mencarinya. Saat pemuda
pirang itu hendak berbicara. Tiba-tiba ada seseorang yang berteriak ke arahnya.
“DI
SANA!! MEREKA YANG MENGAMBIL TAS ITU!!!”
Semua
langsung menengok ke arah sumber suara. Kaho menyipitkan
matanya untuk mengenali siapa yang berteriak tadi. Seorang wanita paruh baya
dan seorang pemuda.
“PAK
POLISI!!! MEREKA DI SINI!!!!”
Kini
pemuda itu yang berteriak. Saat mendengar kata polisi, gerombolan pemuda di
depan Kaho langsung resah. Satu persatu dari mereka melarikan diri dan yang
tertinggal hanya pemuda pirang absurd dan pemuda yang menggenggam pisau.
“Urusan
kita belum selesai sampai disini,deme!!” ancam pemuda
pirang itu. Dan mereka pergi menyusul teman-temannya yang terlebih dahulu
melarikan diri. Kaho mencoba berdiri dan mengambil tas yang tergeletak tak jauh
darinya. Lalu dia pun berjalan
menghampiri wanita setengah baya dan pemuda itu yang juga sedang berlari ke arah tempat Kaho.
“Iwata-san, kau tidak apa-apa?” tanya pemuda itu. Pemuda
tersebut adalah teman sekelas Kaho yang pagi tadi memperhatikannya. Kaho tidak
percaya dia akan bertemu dengannya di konbini yang tidak begitu jauh
dari stasiun.
Saat keluar dari kedai tadi, Kaho sebenarnya tidak tahu
harus kemana, dia terus berlari dan akhirnya berbelok masuk ke sebuah konbini
dan secara tidak sengaja bertemu dengan pemuda itu. Kejadiannya begitu cepat,
Kaho langsung memberi tas yang berisi uang tersebut kepadanya dan menyuruh
untuk membawanya ke kantor polisi. Kaho yakin, pasti di dalam tas tersebut ada
identitas dari pemiliknya.
“Aku sudah menyerahkan tas itu kepada polisi,” ujar
pemuda itu. “A, gomen, boku Haruma, Haruma Miura.”
“Kau anak pindahan itu?” tukas Kaho. Pemuda yang bernama
Haruma pun mengangguk dan menjelaskan ketika dia pertama kali masuk sekolah
Kaho sedang tidak masuk karena sakit.
“Akhir-akhir ini aku terus memperhatikanmu,” ucap Haruma.
“HAH?!”
“Eh, bukan, maksudnya kenapa kau terus mendapatkan luka
setiap kau masuk sekolah, dan sebenarnya teman-teman sekelas pun mempertanyakan
hal itu.”
“Ini bukan urusan kalian,” sahut Kaho dingin. “Aku
baik-baik sa...”
Belum sempat Kaho menyelesaikan ucapannya, Haruma menarik
lengan Kaho dan membawanya ke konbini tempatnya bekerja. Kaho yang masih
shock atas tindakan Haruma tadi, hanya diam saja saat Haruma membawa
dirinya ke ruangan yang seharusnya khusus pegawai.
“Duduklah, aku akan mengobati lukamu,” ujar Haruma. Kaho
yang baru sembuh dari shock-nya, langsung berbalik dan berjalan ke arah
satu-satunya pintu di ruangan tersebut. Namun Kaho kalah gesit dengan Haruma
yang langsung menariknya kembali dan memaksa Kaho untuk duduk di salah satu
sofa di ruangan itu.
“Menurutlah sedikit, walaupun kamu mengatakan tidak
apa-apa, tubuhmu tidak bisa dibohongi. Lihat, darah di lengan kirimu masih
mengalir, kau mau berjalan di luar dengan keadaan seperti ini?!” tukas Haruma.
“Bukan urusanmu,” sahut Kaho berbisik. Apa yang diucapkan
Haruma memang benar, sekujur tubuhnya sudah sangat sakit.
“Kau tinggal dimana?” ucap Haruma memecahkan keheningan
yang sempat terjadi.
“Apa boleh memasukan orang luar di ruangan ini?” sahut
Kaho.
“Boleh saja, toh, toko ini punya keluargaku. Sekarang
jawab pertanyaanku, dimana kau tinggal?”
“Kenapa?!”
“Aku akan mengantarmu. Tidak ada jaminan orang-orang tadi
tidak akan kembali lagi kan, lagipula sepertinya kau sulit untuk berjalan.”
“Aku bisa sendiri, aww!!” Kaho mengaduh kesakitan ketika
Haruma memegang pergelangan kaki kanannya. Padahal Haruma hanya sekedar
menyentuh, tapi sakitnya luar biasa karena menjalar ke seluruh tubuh Kaho.
“Luka yang lain, huh?” tukas Haruma. “Sepertinya kamu
senang sekali mendapatkan luka, Iwata-san. Jadi, kau masih ingin pulang
sendiri?”
“Aku bisa sendiri,” sahut Kaho sedikit ketus. “Terima
kasih, sudah merawat lukaku.”
Sedetik kemudian, Kaho mencoba untuk berdiri. Walau rasa
sakit masih menyerang, Kaho tidak memiliki pilihan lain selain segera pergi
dari ruangan ini. Dengan sedikit merasa sakit, Kaho pun berjalan menuju pintu
yang merupakan akses keluar-masuk ruangan ini.
“Kau yakin?” ujar Haruma sedikit khawatir.
“Ja, shitsureishimasu.”
つづく

Tidak ada komentar:
Posting Komentar