I realize the screaming pain
Hearing loud in my brain
But I’m going straight ahead, with this scar
Flow – Sign
“Sudah
kubilang urusan kita belum selesai!”
Kaho memandang
malas pemuda yang berada di depannya. Pemuda yang seminggu lalu mengancamnya
karena menggagalkan pencopetan mereka. Sungguh mengganggu karena saat ini Kaho
sedang tidak dalam mood yang baik untuk meladeni orang-orang seperti
mereka.
“Rupanya
kau habis belanja, heh?” ejek pemuda pirang itu. Kaho
langsung menghentikan tangan pemuda itu yang hendak mengambil bungkusan plastik
yang tengah dijinjing tangan kirinya. Kaho memeras tangan
pemuda itu yang notabene lebih besar dari tangannya dan pemuda itu sedikit
meringis dan menepis tangan kananKaho
dengan kasar.
“Urusan
kita belum selesai, deme!” tukas pemuda itu sambil mencengkram kerah
baju Kaho. Dan tiba-tiba, salah satu dari mereka mengunci kedua tangan Kaho
dari belakang yang menyebabkanplastik yang dia
genggam tadi terjatuh dan isinya berserakan di jalanan. Malam itu sedikit sepi, jadi tidak ada orang
yang lalu lalang di jalan tersebut. Lalumulut
pemuda pirang itu pun membentuk huruf O begitu tahu apa isi dari
kantong plastik tersebut.
“Perban,
heh? Sepertinya aku harus meyakinkan sesuatu,” Pemuda itu berjalan mendekati Kaho dan
memegangi lengan kirinya. Pemuda pirang absurd itu tersenyum dan langsung meremas lengan
kiri Kaho. Kaho merasakan sakit yang amat sangat. Ngilu kini menjalar pada
tulangnya. Luka yang hampir mengering kini terbuka kembali dan darah mulai
merembes keluar menodai T-shirt putih lengan panjang miliknya.
Kini
rasa ngilu menjalar ke seluruh tubuh. Kaho jatuh berlutut
karena kedua kakinya sudah tidak bisa menopang berat tubuhnya. Pandangannya
kabur karena darah yang keluar cukup banyak. Melihat hal itu,
pemuda pirang absurd tersenyum puas lalu dia berlutut, menyejajarkan
dirinya dengan Kaho lalu mendongakkan wajah Kaho yang
tertunduk.
“The
game is begin, baby!”
Kaho memandang
nanar pemuda pirang absurd itu. Ia sungguh merasa jijik dengan pemuda
itu. Rasanya ia ingin melempar sesuatu ke arah wajah menjijikkan itu.
Pemuda
itu mengangkat tangan kanannya, memberikan tanda kepada temannya yang lain yang
berada tidak jauh di belakangnya. Tiba-tiba pemuda itu menyerang leher Kaho,
menciuminya dengan penuh nafsu. Kaho yang tidak
terima, langsung menendang pemuda itu dengan kakinya yang bebas dan pemuda
itu sukses jatuh ke belakang. Ada jeda yang cukup panjang setelah pemuda pirang
itu terjatuh.
“HAHAHAHAHAHAHAHAA!!!!”
Pemuda
pirang itu bangun dan menatap Kaho dengan liar dan
melangkah menghampiri Kaho yang terduduk dengan tangan yang
masih terkunci. Lalu ditariknya rambut Kaho ke belakang
dan lengan kirinya kembali diremas oleh pemuda itu.
Rasa
sakit yang belum kunjung hilang, kini harus dirasakan Kaho
berkali-kali lipat dan Kaho berteriak sekeras-kerasnya.
“Kau
bisa berteriak seperti itu, heh? Kemana wajah dingin yang
kau tunjukkan minggu lalu, hah?!!” ujar
pemuda pirang itu. “Kurasa, mengeluarkan darah sebanyak ini tidak akan
membunuhmu kan? Bagaimana kalau kutambah dengan ini...”
Pemuda
pirang itu mengeluarkan sesuatu dari kantong jaketnya dan memamerkannya di
depan mata Kaho. Pisau lipat. Itulah yang kini tengah ditatap Kaho.
Namun itu bukanlah pisau lipat yang dia lihat tempo hari lalu. Pisau itu
berbeda dengan pisau yang telah melukai lengan kirinya.
“Sekarang
kau mau menakuti-nakutiku dengan hanya menggantungnya di depan wajahku, heh?!”
remeh Kaho. Pemuda pirang itu hanya tersenyum mendengar perkataan Kaho
tadi dan Kaho terkejut begitu pisau itu sudah tidak ada di tangan pemuda pirang
itu melainkan kini menancap di betis kanannya.
“Bukankah
ini yang kau pinta waktu itu hime, sekarang kami tidak akan segan-segan
untuk membunuhmu!” sahut pemuda pirang itu. Sejujurnya Kaho
tidak terlalu terkejut bahwa suatu hari dia akan meninggal di tangan orang-orang seperti mereka,
karena hidupnya sekarang hanyalah untuk mencari seseorang yang telah
memporak-porandaka hidupnya, yaitu Kudou. Tapi dia tidak mau mati sekarang,
sebelum dia bertemu dengan Kudou. Saat ujung pisau lipat itu hampir menancap di
dada kirinya, Kaho melimbungkan diri ke arah belakang dan mengayun kaki kirinya
yang bebas dan menendang dengan keras tubuh pemuda pirang itu. Kaho sedikit
bersyukur dulu dia sempat mempelajari taekwondo, sehingga dapat
digunakan untuk keadaan genting seperti ini.
Entah
mendapatkan kekuatan dari mana, Kaho bisa
melepaskan kuncian pemuda itu dan berbalik mengunci tangan pemuda tersebut. Kaho
juga tidak segan memberi beberapa pukulan pada tubuh pemuda itu dan dia juga
menyerang balik pemuda-pemuda lainnya yang sedari tadi hanya diam saja. Setelah
semuanya beres, Kaho berlari menghampiri pemuda pirang itu dan mendorongnya kembali
hingga tersungkur ke tanah. Belum sempat pemuda pirang itu pulih dari rasa
kagetnya, Kaho sudah ada di hadapannya dan menarik kerah baju miliknya.
“Aku akan melepaskanmu jika kau mau memberitahu dimana
Kudou sekarang,” ucap Kaho.
“Hah! Kau bukan diposisi yang bisa menawarkan pilihan, deme!!”
sahut pemuda pirang itu.Kaho pun memamerkan pisau lipat yang merupakan milik
pemuda pirang tersebut tepat di depan wajah pemuda pirang itu.
“Huh, sekarang kau ingin mengancam...”
“KATAKAN DIMANA KUDOU SEKARANG!!!” teriak Kaho.
“Jadi
benar apa yang dikatakan Kudou,” ucap pemuda pirang itu dengan terkekeh.Kaho geram
melihat pemuda dihadapannya. Seperti ada sesuatu
yang membisikinya, Kaho kemudian menghunuskan
ujung pisau tersebut ke arah pemuda pirang itu.
“Yamete!
Kalau kau melakukannya, kau sama saja dengan mereka!”
Kaho mendongakkan
wajahnya. Tangannya yang hendak menghujamkan pisau kini tergantung di udara. Haruma
kini tengah menggenggam tangan Kaho danmengambil
pisau lipat tersebut dari tangannya. Kaho mengerjapkan matanya, kaget melihat Haruma berada
disini.
“Apa yang kau laku...”
“Ini bukan barang yang pantas kau genggam, Iwata-san,”
ujar Haruma memotong perkataan Kaho. Kemudian Haruma membuang pisau lipat tersebut ke tong sampah yang tidak jauh darinya dan
menarik tangan Kaho, menjauhkannya dari pemuda pirang itu.
“Sudah
cukup kalian bermain-main dengannya,” tukas Haruma.
Pemuda pirang yang tengah tergeletak itu hanya tertawa,
tertawa sekencang-kencangnya, menganggap ucapan Harumaadalah
sebuah lelucon.
“Cukup?”
sahut pemuda pirang itu sambil berusaha berdiri. “Melihat dia mati dihadapanku itu baru
CUKUP!!!”
Hening.
Tidak ada yang menyahut ucapan pemuda pirang tersebut. Kaho
hanya menghela nafas bosan mendengar ucapan yang baginya hanya omong kosong, sementara
Haruma
merasa risih dengan ucapan pemuda pirang tadi.
“Oi,
hanya karena dia menggagalkan pencopetan kalian, lantas
kalian ingin membunuhnya?!” tukas Haruma.
“Tidak
masalahkan? Kau tidak ada urusan apa-apa denganny!,”
sahut pemuda pirang itu. “Lucu sekali, nyawamu akan berakhir di tangan kita seperti
pacarmu yang dulu!!”
BUUAKK!!!!
Kaho meninju wajah pemuda pirang itu dengan tangan
kanannya yang tidak terluka. Pemuda pirang tersebut pun kembali tersungkur ke
tanah. Darah segar kini mengalir dari hidungnya dan hal itu, membuat pemuda
pirang tersebut semakin naik darah dan ingin menghajar Kaho. Namun Haruma lebih
gesit darinya sehingga dia harus kembali terjatuh karena Haruma menendang
perutnya.
“Sekarang, katakan dimana Kudou!” ujar Kaho.
“Kudou, kudou, kudou!!! KAU TIDAK PANTAS UNTUK BERTEMU
DENGAN KUDOU!!!”
Kaho setengah berlari menghampiri pemuda pirang itu, dan
detik berikutnya Kaho sudah mencengkram baju pemuda pirang itu dan hendak
memukulnya kembali. Namun tinju Kaho tertahan di udara karena Haruma sudah mengunci
kedua lengannya dan menjauhkan Kaho dari pemuda pirang itu.
“Oi, Iwata-san! Ochitsuke!!”
“Hanase!! Jangan campuri urusanku, Miura-san!!!”
PLAK!
“Tenanglah, jika tidak kau tidak akan mendapatkan apapun
dari dia,” ucap Haruma. Kaho hanya terdiam dan memegangi pipi kanannya yang
baru saja ditampar oleh Haruma. “Gomen...” lanjut Haruma.
Tidak lama kemudian, beberapa polisi berdatangan. Haruma
yang telah memanggilnya langsung mengarahkan polisi tersebut ke tempat dia
berada, kemudian dia pun menjelaskan singkat tentang apa yang baru saja terjadi
kepada salah satu polisi dan tanpa basa-basi lagi, mereka menangkap
pemuda-pemuda tersebut, termasuk pemuda pirang itu. Saat Haruma hendak
berbicara kepada Kaho, Kaho sudah tidak berada di tempat itu.
**
Kaho berjalan tertatih menjauhi tempat itu. Luka tusuk di
paha kanannya terus mengeluarkan darah dan itu menciptakan jejak darah ketika
Kaho berjalan. Pandangan Kaho mengabur, pikirannya kosong. Sepertinya Kaho
tidak mendengar jeritan tubuhnya yang kesakitan.
“Oi, mau kemana kau?!” Haruma yang menemukan Kaho,
langsung menahan lengannya dan detik berikutnya Kaho kehilangan kesadarannya.
つづく

Tidak ada komentar:
Posting Komentar