Read more at http://lenterablogger.blogspot.com/2012/04/cara-buat-auto-read-more.html#jdBSQSIVISDqbFPD.99

Sabtu, 14 April 2012

Sastra Novel Jepang Zaman Modern Part III

Nagai Kafuu
Nagai Kafuu, nama samaran dari Nagai Sokichi, noveli Jepang yang sangat kuat mengidentifikasi diri dengan Tokyo dan masa lalu pramodern-nya. Sebagai pemuda yang sering melakukan pemberontakan, Kafuu gagal dalam menyelesaikan belajarnya di universitas dan dikirim ke luar negeri pada tahun 1903 hingga 1908. Sebelum dia diberangkatkan keluar negeri, Kafuu telah menghasilkan tiga buah novel yang mendapat pengaruh naturalisme dari sastra Perancis. Nagai Kafuu memulai karirnya sebagai pengarang naturalisme setelah kembali dari luar negeri. Ia menulis buku berjudul Amerika Monogatari, Furansu Monogatari. Untuk membangkitkan kembali perasaan mencintai Jepang zaman dahulu, Kafuu yang tertarik dengan pribadi manusia pada zaman Edo, mengambil tema dunia geisha yang ditulis dalam novelnya yang berjudul Sumida Gawa(1911), sebuah novel tentang hilangnya masa lalu ramah di kota Tokyo. Untuk beberapa tahun setelah ia kembali, Kafu adalah seorang profesor di Universitas Keio di Tokyo dan pemimpin dari dunia sastra. Setelah pengunduran dirinya pada tahun 1916, sebuah catatan dendam yang kuat dari apa yang telah dilakukan dunia modern terhadap kota tua  datang kedalam karyanya.

Selama Perang Dunia II, jumlah literatur Jepang diterbitkan terbatas karena sensor ekstrim dari pemerintah untuk mendorong seniman dan penulis untuk mengarahkan fokus mereka terhadap upaya perang. Meskipun sangat sedikit karya yang diterbitkan selama perang, Nagai Kafu menjadi salah satu pemberontak yang menentang pemerintah dan terus menulis. Akibatnya, ia mampu mempertahankan statusnya sebagai novelis populer di sepanjang perang. Kafu terus menulis dan menulis buku harian sampai kematiannya pada tahun 1959. Edisi dari karya-karyanya dikumpulkan dan diterbitkan oleh Iwanami Shoten pada 1990-an hingga mencapai 30 volume.

Tanizaki Junichiro adalah novelis dan penulis cerpen Jepang yang aktif mulai dari akhir zaman Meiji hingga pasca-Perang Dunia II. Sebagian karyanya menampilkan dunia seksualitas yang mengejutkan dan obsesi erotis yang destruktif. Sebagian dari karyanya yang tidak begitu sensasional, menggambarkan secara halus kehidupan keluarga dalam konteks perubahan yang sangat cepat dalam masyarakat Jepang abad ke-20. Cerita yang ditulisnya sering mengisahkan pencarian identitas budaya yang membanding-bandingkan budaya Jepang dan budaya Barat. Nama Tanizaki menjadi terkenal untuk pertama kalinya setelah menerbitkan cerpen Shisei (The Tattooer) pada tahun 1910. Dalam cerita tersebut, seorang seniman rajah menggambar seekor laba-laba besar di atas tubuh seorang wanita muda yang cantik. Setelah dirajah, kecantikan wanita itu berubah menjadi kekuatan kejam dan agresif, bagaikan perpaduan erotisisme dengan sado masokisme. Tema-tema femme fatale kembali diulanginya dalam banyak karya-karya awal Tanizaki, termasuk di antaranya: Kirin (1910), Shonen ("The Children", 1911), Himitsu ("The Secret," 1911), dan Akuma ("Devil", 1912).
Di antara karya-karya lain Tanizaki yang diterbitkan pada zaman Taishō adalah Shindo (1916) dan Oni no men (1916), yang sebagian berupa autobiografi. Tanizaki menikah pada tahun 1915, namun pernikahan tersebut tidak membawa kebahagiaan. Ia bahkan menyuruh istrinya, Chiyoko untuk menyeleweng dengan Sato Haruo yang rekan sesama penulis sekaligus seorang sahabat Tanizaki. Tekanan psikologis waktu itu tercermin dalam beberapa karya-karya awalnya, termasuk drama panggung Aisureba Koso (Because I Love Her, 1921) dan novel Kami to Hito no Aida (Between Men and the Gods, 1924). Walaupun inspirasi beberapa tulisan kemungkinan berasal dari orang-orang di seputarnya dan kejadian yang dialaminya selama hidup, karya-karya Tanizaki jauh dari karangan bersifat autobiografi seperti halnya sebagian besar karya penulis seangkatan di Jepang.
Reputasi Tanizaki mulai mencuat mengikuti kepindahannya ke Kyoto setelah gempa bumi besar Kanto, 1 September 1923. Gempa yang menghancurkan gedung-gedung bersejarah dan kawasan permukiman di Tokyo menyebabkan minat dirinya berubah. Dari kecintaan sesaat terhadap dunia Barat dan modernitas, Tanizaki beralih kepada estetisisme, sejarah, Buddhisme, dan budaya Jepang, terutama kebudayaan daerah Kansai (Osaka, Kobe, Kyoto). Novel pertama yang ditulisnya pascagempa adalah Chijin no ai (Naomi, 1924-1925). Novel tersebut adalah novel pertama darinya yang betul-betul laris, berkisah tentang wanita muda yang independen, obsesi seksual, dan identitas budaya. Novel Manji (Quicksand, 1928–1929) mengisahkan lesbianisme dua wanita modern dari kalangan atas di Osaka. Ia bahkan memerlukan para asisten yang membantunya menguasai dan menulis novel dalam dialek Osaka. Karya selanjutnya adalah Tade kuu mushi (Some Prefer Nettles, 1928–1929) yang mengisahkan penemuan diri secara bertahap dari seorang pria Tokyo yang tinggal dekat Osaka, sehubungan dengan modernisasi pengaruh budaya Barat dan tradisi Jepang. Yoshinokuzu (Arrowroot, 1931) dipengaruhi bunraku dan teater kabuki sementara mengadaptasi teknik narasi seperti narasi gaya Eropa. Eksperimentasi dengan gaya naratif diteruskannya dengan Ashikari (The Reed Cutter, 1932), Shunkinsho (A Portrait of Shunkin, 1933), dan beberapa karya lain yang memadukan estetisisme tradisional dengan obsesi khas Tanizaki.
Kebangkitan kembali minat Tanizaki dalam sastra klasik Jepang berpuncak pada penerjemahan novel klasik abad ke-11, Hikayat Genji ke dalam bahasa Jepang modern di tengah berlangsungnya Perang Pasifik. Ia juga menulis novel yang kemudian menjadi adikarya Tanizaki, Sasameyuki (A Light Snowfall), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai The Makioka Sisters (1943–1948). Novel tersebut menceritakan empat anak perempuan dari keluarga pedagang kaya di Osaka yang menyaksikan gaya hidup mereka yang elegan makin memburuk pada tahun-tahun sebelum Perang Dunia II (1930-an). Keluarga Makikoka sebelumnya terbiasa hidup dalam gaya kosmopolitan, memiliki teman dan bertetangga dengan orang Eropa, namun tanpa menderita krisis identitas budaya seperti lazim terjadi pada tokoh-tokoh ciptaan Tanizaki.
Shôshō Shigemoto no Haha (Captain Shigemoto's Mother, 1949–1950) adalah karya utama Tanizaki yang pertama pasca-Perang Dunia II. Ia kembali mengangkat tema yang lazim ditampilkannya, yakni kerinduan seorang anak laki-laki terhadap sosok ibu. Novel ini juga memperkenalkan tema baru berupa masalah seksualitas kalangan lanjut usia. Tema serupa kemudian ditampilkannya kembali dalam karya-karya berikut, seperti Yume no ukihashi (1959, Jembatan Impian) dan Kagi (The Key, 1956). Kagi ditulisnya sebagai novel psikologis yang mengerikan. Seorang dosen bahasa Inggris yang sudah tua mengatur istrinya untuk menyeleweng bersama lelaki muda agar hasrat seksual dirinya yang sudah loyo dapat pulih.
Tokoh-tokoh ciptaan Tanizaki sering dimotivasi oleh kegandrungan terhadap nafsu erotis. Dalam salah satu dari novel terakhirnya, Futen Rojin Nikki (Diary of a Mad Old Man, 1961–1962), penulis buku harian menjadi lumpuh akibat stroke setelah mengalami rangsangan seksual berlebihan. Orang tua yang menulis buku harian itu, mencatat semua hasratnya pada masa lalu, serta usaha-usaha yang sedang dilakukan untuk menyuap menantu dengan perhiasan murah karena minat fetisme terhadap kaki menantu.
Sebagian besar dari karya-karya Tanizaki mengeksploitasi sensualitas, dan beberapa di antaranya secara khusus membahas erotisisme. Hampir semua karyanya dihiasi dengan ironi dan kalimat yang cerdas. Walaupun terutama dikenal sebagai penulis cerpen dan novel, Tanizaki adalah penulis serba bisa yang juga menulis puisi, drama, dan esai.

Natsume Soseki adalah salah satu tokoh besar dalam kesusastraan modern Jepang yang tidak sepaham dengan aliran naturalis Jepang. Natsume Soseki dan Mori Ogai merupakan pelopor yang memberi cahaya terang dalam kesusastraan modern Jepang dengan kritik yang bersifat ilmiah dan etik.
Natsume Soseki
Natsume Soseki sebenarnya adalah nama pena dari Natsume Kinnosuke. Natsume Soseki adalah novelis Jepang, ahli sastra Inggris, sekaligus penulis esai yang hidup di zaman Meiji hingga zaman Taisho. Sebagian besar novelnya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, termasuk Wagahai wa Neko de aru (I Am a Cat) dan Kokoro (Rahasia Hati). Dari tahun 1984 hingga 2004, potretnya menghiasi uang kertas pecahan 1000 yen. Natsume Soseki dijuluki Yoyuha (Grup santai karena berkecukupan), Kotoha (Transendentalis) dan Haikaha (Pengarang yang puitis).  Kesuksesan karya Soseki dimulai dari novel Wagahai wa Neko de Aru yang berbentuk satire dan novel Kusa Makura (bantal rumput).
Kontak pertama Soseki dengan dunia sastra selain Jepang adalah di tahun 1881 ketika ia, di usia 14 tahun, selama setahun mempelajari sastra Cina di sekolah. Kecintaan Soseki pada sastra Cina menetap dalam dirinya sepanjang hidup, dan pengaruhnya terkadang bisa dilihat dalam karya-karyanya. Ditahun 1882, Soseki menyatakan keinginan untuk menjadikan sastra sebagai karier, namun kakak tertuanya menentang niat ini. Walaupun begitu, Soseki tetap masuk ke Departemen Sastra Inggris Tokyo Imperial University di tahun 1890.
Selama periode Meiji, kaum intelektual Jepang merasa mempelajari berbagai pengetahuan dunia Barat demi membantu pembangunan negeri merupakan kewajiban mereka. Soseki bukanlah perkecualian dan semangat memperoleh pengetahuan dalam salah satu aspek peradaban Barat-lah yang menuntunnya menekuni sastra Inggris.
Di tahun 1895, Soseki lulus dari Imperial University, kemudia pergi ke Shikoku untuk menjadi guru bahasa Inggris di sekolah menengah Matsuyama, yang kemudian menjadi setting dalam novel Botchan. Ketika di Inggris, Soseki lebih dikenal sebagai seorang pelajar daripada penulis, meskipun dia memang banyak menulis puisi dan haiku dalam bahasa Cina. Namun setelah kembali ke Jepang, sambil terus mencari beasiswam Soseki beralih menulis novel, dan menjadi salah satu penulis terbesar dalam sejarah kesusastraa Jepang.
Novel pertama Soseki merupakan satir sosial berjudul Wagahai wa Neko de Aru (I am Cat). Novel ini diterbitkan di tahun 1905. Didorong kesuksesan karya ini, Soseki menerbitkan novel keduanya, Botchan, di tahun 1906. Buku ini pun menjadi sangat terkenal, dan terus menjadi favorit para pembaca Jepang.
Musim panas 1910, Sōseki sakit parah dan menyepi di kuil Shuzen-ji, Izu. Karyanya setelah sembuh adalah Kojin (The Wayfarer), Kokoro (Rahasia Hati), dan Garasudo no Uchi (Inside My Glass Doors).  Karya terakhirnya, Meian (Light and Darkness) dimuat bersambung di Asahi Shimbun, namun tidak selesai.


Miekichi Suzuki terkenal dengan penulisannya yang puitis dan halus dalam novel Chidori dan Kuwa no Mi. Miekichi Suzuki adalah penulis Jepang yang banyak menulis cerita anak, dan dikenal sebagai Bapak Bacaan Anak di Jepang. Literatur klasik Kojiki dirangkumnya menjadi Kojiki Monogatari (Hikayat Kojiki) dengan bahasa yang mudah dimengerti anak-anak. Sejak dimuat bersambung dalam majalah Akai Tori pada tahun 1920, Hikayat Kojiki sudah beberapa kali diterbitkan ulang, dan disenangi orang dewasa karena mudah dimengerti. Majalah ini selain memuat novel anak-anak, juga memuat cara menulis huruf indah sehingga digemari oleh anak-anak dan remaja.
Sejak di bangku sekolah menengah, Suzuki sudah senang menulis. Cerita yang ditulisnya dengan nama pena Eizan sering dimuat majalah Shōkokumin dan Shinsei. Di kelas 2 SMP, sejumlah cerita anak yang ditulisnya, seperti Ahō Hato dimuat dalam majalah Shōnen Kurabu. Sewaktu masih di bangku kuliah, Suzuki menderita sakit dan pergi beristirahat ke Pulau Nōmi di lepas pantai Prefektur Hiroshima. Pengalamannya selama di sana dituangkan dalam cerpen berjudul Chidori. Natsume Sōseki memuji cerpen tersebut, dan mengusulkannya untuk dimuat dalam majalah Hototogisu. Sejak itu pula, Suzuki menjadi salah seorang murid Sōseki dan menerima bimbingan dalam bidang tulis menulis.
Setelah lulus kuliah, Suzuki terus menulis sambil bekerja sebagai guru bahasa Inggris di sekolah menengah pertama. Novelnya yang berjudul Kuwa no Mi dimuat bersambung di harian Kokumin Shimbun dari 25 Juli hingga 15 November 1913, dan namanya mulai terkenal sebagai novelis. Novel tersebut juga diterbitkan penerbit Shunyōdō pada bulan Januari tahun berikutnya. Namun setelah itu, Suzuki mengalami kebuntuan, dan berhenti menulis novel sejak tahun 1915. Pada tahun berikutnya, Suzuki beralih menjadi penulis bacaan anak setelah menulis cerita untuk anak perempuannya.


sebuah monumen yang didedikasikan
untuk Miekichi suzuki
Pada tahun 1918, Suzuki menerbitkan majalah sastra anak Akai Tori (Burung Merah), dan teman-temannya sesama sastrawan diminta untuk menyumbangkan tulisan. Ryūnosuke Akutagawa menyumbangkan cerita anak-anak berjudul Kumo no Ito (Jaring Laba-laba), sedangkan Takeo Arishima dengan Hitofusa no Budō (Setangkai Buah Anggur). Kitahara Hakushū menyumbangkan lagu anak-anak, sedangkan Osanai Kaoru dan Kubota Mantarō menyumbangkan naskah sandiwara anak-anak. Penulis bacaan anak seperti Jōji Tsubota dan Nankichi Niimi juga sering menulis untuk majalah Akai Tori.
Setelah terbit 196 edisi selama 17 tahun, penerbitan Akai Tori terhenti pada tahun 1936 setelah Suzuki meninggal dunia. Di masa jayanya, Akai Tori dikabarkan beroplah lebih dari 30 ribu eksemplar. Jumlah pembacanya diperkirakan jauh lebih banyak lagi. Majalah yang dibeli sekolah dan perkumpulan pemuda desa umumnya dibaca secara bergiliran.
Sejak tahun 1948, nama Miekichi Suzuki diabadikan dalam bentuk Penghargaan Miekichi Suzuki. Penghargaan ini diberikan untuk anak-anak Jepang yang pandai mengarang.


Akutagawa Ryunosuke
Akutagawa Ryunosuke adalah murid Soseki yang berbakat yang memulai karirnya dari sebuah majalah. Akutagawa merupakan sastrawan Jepang yang dikenal sebagai penulis novel pendek dan cerpen. Sebagian besar karyanya berupa cerpen, seperti Imogayu, Yabu no Naka (Dalam Belukar ), Jigokuhen, dan Haguruma. Cerpen-cerpen tersebut diangkat dari kisah-kisah yang terdapat dalam naskah kuno seperti Konjaku Monogatarishū dan Uji Shūi Monogatari. Selain itu, Akutagawa juga menulis cerita untuk anak-anak, misalnya: Kumo no Ito (Jaring Laba-laba) dan Toshishun. Hana merupakan novel satire yang mengambil bahan dari cerita klasik. Akutagawa tidak pernah menulis novel panjang. Novelnya yang berjudul Jashūmon dan Rojō tidak pernah diselesaikannya.
Saat kuliah, Akutagawa dan teman-temannya, Kan Kikuchi dan Masao Kume, menghidupkan untuk yang ke-3 kalinya majalah sastra Shinshichō (Arus Pemikiran Baru). Akutagawa mengisi majalah tersebut dengan terjemahan  karya Anatole France (Balthasar) dan Yeats (The Heart of the Spring). Pada waktu itu, Akutagawa memakai nama pena Yanagigawa Ryūnosuke. Kariernya sebagai penulis dimulai dengan cerpen berjudul Rōnen yang sempat dimuat Shinshichō sebelum kembali berhenti terbit di bulan Oktober tahun yang sama. Cerita pendek yang menjadi salah satu adikaryanya, Rashōmon dimuat dalam majalah Teikoku Bungaku bulan Oktober 1915. Sejak itu pula, nama Akutagawa Ryūnosuke mulai digunakannya sewaktu menulis. Pada tahun 1916, Akutagawa kembali menghidupkan kembali Shinshichō untuk ke-4 kalinya dengan tim redaksi yang hampir sama dengan penerbitan sebelumnya. Setelah kembali terbit, edisi perdananya memuat cerpen berjudul Hana (Hidung) yang mendapat pujian dari Sōseki.
Pada bulan April 1927 terjadi polemik antara Akutagawa dengan Jun'ichirō Tanizaki akibat transkrip yang dimuat majalah Shinchō. Transkrip tersebut adalah hasil panel diskusi sastra yang diadakan Akutagawa bersama rekan-rekannya, dan di antaranya membahas karya Tanizaki. Cerita fiksi Tanizaki dikritik sebagai cerita yang memiliki plot menarik, namun cara penyajiannya tidak bagus. Tanizaki membela diri dengan serangkaian tulisan yang diterbitkan majalah sastra Kaizō. Akutagawa membalas pembelaan tersebut dengan seri kritik sastra Bungei teki na, amari ni Bungei teki na (Sangat Sastra, Terlalu Sastra Sekali) yang dimuat majalah Kaizō. Sebagai pembanding, Akutagawa memuji Naoya Shiga dalam cara penyajian cerita walaupun plotnya "Tidak ada cerita penting yang diceritakan" ("Hanashirashii hanashi no nai"). Setelah menyelesaikan penulisan Zoku Saihō no Hito, pada dini hari 24 Juli 1927, Akutagawa bunuh diri dengan menelan obat tidur dalam dosis fatal.

Arishima Takeo
Arishima Takeo adalah seorang novelis Jepang, penulis cerita pendek dan essay pada periode Meiji akhir dan Taisho. Arishima mencapai ketenaran untuk pertama kalinya pada tahun 1917 dengan karya Kain no Mutsume, yang menggambarkan kutukan Dewa pada kedua manusia dan alam melalui mata perusak diri sendiri dari seorang petani penyewa. Pada tahun 1919, dia menerbitkan karyanya yang paling terkenal, Aru Onna. Sebuah melodrama moral dan psikologis tentang seorang wanita-berkemauan keras yang berjuang melawan masyarakat yang didominasi oleh laki-laki munafik.

Satomi Ton adalah nama pena dari penulis Jepang yang dikenal dari keahliannya dari dialog dan perintah dalam bahasa Jepang. Nama aslinya adalah Hideo Yamanouchi. Satomi menjadi murid Kyouka Izumi setelah karya-karyanya sampai pada perhatian dari novelist yang lebih tua. Satomi berusaha keras untuk tetap jauh dari setiap kelompok sastra tertentu atau sekolah politik sepanjang karirnya. Dia adalah seorang penulis produktif yang dikenal untuk karya otobiografinya dan promosi nilai-nilai murni sastra. Di barat, dia terkenal luas karena Tsubaki, sebuah cerita pendek yang ditulis setelah gempa bumi besar di Kanto tahun 1923, yang datang beberapa bulan setelah bunuh diri kakaknya, Arishima Takeo. Pada tahun 1959, Satomi menerima The Order of Culture dari pemerintahan Jepang. Karya utama Satomi Ton meliputi Zen Shin Aku Shin (Good Heart Evil Heart), Tajo Busshin (The Caompassion of Buddha, 1922-1923), Anjo Ke no Kyoudai (The Anjo Brothers), Gokuraku Tonbo (A Carefree Fellow, 1961).


Naoya Shiga

Naoya Shiga adalah seorang novelis Jepang dan penulis cerita pendek yang aktif selama periode Taisho dan Showa Jepang. Saat Shiga berada di Gakushuin Peer School dia berteman dengan Saneatsu Mushanokuoji dan Kinoshita Rigen. Karir sastranya dimulai dengan tulisan tangan di majalah sastra Boya ("Perspektif"), yang diedarkan dalam kelompok sastra mereka di sekolah. Pada tahun 1910 Shiga mengkontribusikan cerita Abashiri ("Untuk Abashiri") untuk edisi pertama majalah sastra Shirakaba ("White Birch"). Dalam karya-karya lama, Shiga umumnya berpegang pada bentuk Novel Sastra Asli (Novel Aku), yang menggunakan ingatan subjektif penulis dari pengalamannya sendiri, tapi ia mendirikan reputasinya dengan sejumlah cerita pendek, termasuk Kamisori ("The Razor", 1910), Seibei no hyotan ("Seibei dan Labu", 1913) dan Manazuru ("Manazuru", 1920). Dan diikuti oleh beberapa novel, termasuk Otsu Junkichi (1912), Wakai ("Rekonsiliasi", 1917), dan karya besar, An'ya Koro ("Passing save Dark", 1921-1937), yang ditulis secara bersambung secara radikal dalam majalah sosialis KAIZO.
Shiga Naoya merupakan pengarang yang memiliki sifat keras, menjunjung tinggi kesusilaan dan menentang ketidak adilan. Dia mempunyai pandangan tersendiri tentang kehidupan yang didasari humanism. Gaya penulisannya realis dan condong pada Shinkyo Shousetsu (novel psikologis). Gaya tegas ini banyak mempengaruhi penulis di Jepang dan dipuji oleh penulis Akutagawa Ryunosuke dan Agawa Hiroyuki. Namun penulis lain yang hidup sezaman dengannya, terutama Dazai Osamu, sangat kuat mengkritisi gaya penulisan Shiga Naoya yang terkesan ‘tulus’. Selama hidupnya, Shiga pindah rumah hampir 20 kali. Dia menulis cerita yang terhubungan dengan sebuah tempat tinggal, termasuk cerpen Di Kinosaki (Kinosaki ni te), dan Sasaki no Bai (Dalam Kasus Sasaki). Cerpen-cerpen yang dia tulis seperti Wakai (Rujuk) dan lainnya, memiliki tema cerita yang diangkat dari kegetiran hidup tetapi kemudian berkembang kearah pemurnian jiwa.

Yasunari Kawabata adalah adalah seorang novelis Jepang yang prosa liriknya membuat ia memenangkan Penghargaan Nobel dalam Sastra pada 1968. Ia menjadi orang Jepang pertama yang memperoleh penghargaan tersebut. Karya-karyanya hingga kini masih dibaca bahkan di dunia internasional.
Kawabata Yasunari
Sementara masih menjadi mahasiswa, Kawabata menghidupkan kembali majalah sastra Universitas Tokyo, "Shin-shichō" (Arus Pemikiran Baru) yang telah mati lebih dari empat tahun. Di situ ia menerbitkan cerita pendeknya yang pertama, "Shokonsai Ikkei" ("Suasana pada suatu pemanggilan arwah") -- sebuah karya yang hingga kini masih diakui nilai sastranya. Ketika kuliah, ia beralih jurusan ke Sastra Jepang dan menulis skripsi yang berjudul, "Sejarah singkat novel-novel Jepang". Ia lulus pada Maret 1924. Pada Oktober 1924, ia, Kataoka Teppei, Yokomitsu Riichi dan sejumlah penulis muda lainnya memulai sebuah jurnal sastra baru Bungei Jidai (Zaman Artistik). Jurnal ini adalah reaksi terhadap aliran sastra Jepang yang lama dan mapan, khususnya aliran Naturalis, sementara pada saat yang sama juga bertentangan dengan sastra kaum buruh atau aliran Sosialis/Komunis. Ini adalah gerakan "seni untuk seni", yang dipengaruhi oleh Kubisme Eropa, Ekspresionisme, Dada dan gaya modernis lainnya. "Shinkankaku-ha" sering kali keliru ditafsirkan sebagai "Neo-Impresionisme." Istilah "Shinkankakuha," yang digunakan Kawabata dan Yokomitsu untuk menggambarkan filsafatnya, tidaklah dimaksudkan sebagai versi baru atau pemulihan dari Impresionisme; gerakan mereka dipusatkan pada upaya memberikan "impresi baru," atau, lebih tepatnya, "sensasi baru" dalam penulisan sastra. (Okubo Takaki [2004] Kawabata Yasunari--Utsukushi Nihon no Watashi. Minerva Shobo)
Kawabata mulai mendapatkan pengakuan dengan sejumlah cerita pendek tak lama setelah ia lulus, dan memperoleh kemasyhuran dengan "Gadis Penari dari Izu" pada 1926, sebuah cerita yang menjelajahi erotisisme orang muda yang sedang berkembang. Kebanyakan karyanya di kemudian hari menjelajahi tema-tema serupa.
Salah satu novelnya yang paling terkenal adalah Negeri Salju, yang dimulai pada 1934, dan pertama kali diterbitkan secara bertahap sejak 1935 hingga 1937. Negeri Salju adalah sebuah cerita yang gamblang mengenai sebuah hubungan cinta antara seorang amatir (dilettante) Tokyo dengan seorang geisha desa, yang berlangsung di sebuah kota dengan sumber air panas yang jauh di sebelah barat dari Pegunungan Alpen Jepang. Novel ini memantapkan Kawabata sebagai salah satu pengarang terkemuka Jepang dan langsung menjadi sebuah klasik, yang digambarkan oleh Edward G. Seidensticker "barangkali (merupakan) adikarya Kawabata".
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, suksesnya berlanjut dengan novel-novel seperti Seribu Burung Bangau (sebuah cerita tentang cinta yang bernasib malang), Suara Gunung, Rumah Perawan, Kecantikan dan Kesedihan, dan Ibu kota Lama .
Buku yang ia sendiri anggap sebagai karyanya yang terbaik adalah Empu Go (1951) adalah sebuah kontras yang tajam dengan karya-karyanya yang lain. Ini adalah sebuah kisah setengah fiksi tentang sebuah pertandingan besar Go pada 1938, yang benar-benar dilaporkannya dalam kelompok surat kabar Mainichi. Ini adalah permainan terakhir dari karier empu Shūsai, dan ia dikalahkan oleh penantang mudanya, dan meninggal sekitar setahun kemudian. Meskipun pada permukaannya cerita ini mengharukan, sebagai penceritaan kembali mengenai sebuah perjuangan puncak oleh sejumlah pembaca kisah ini dianggap sebagai paralel simbolis dari kekalahan Jepang pada Perang Dunia II.
Sebagai presiden P.E.N. Jepang selama bertahun-tahun setelah perang, Kawabata merupakan kekuatan pendorong di balik penerjemahan sastra Jepang ke dalam bahasa Inggris dan bahasa-bahasa Barat lainnya.

Kenzaburo Oe
Kenzaburo Oe adalah adalah tokoh besar dalam sastra Jepang modern. Karyanya, yang banyak dipengaruhi oleh sastra Perancis dan Amerika serta teori sastra, sarat dengan isu-isu politis, sosial, dan filosofis seperti senjata nuklir, non-konformisme sosial dan eksistensialisme. Oe dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Sastra pada tahun 1994. Pada usia delapan tahun, Oe menempuh perjalanan jauh menggunakan kereta menuju Tokyo, dan pada tahun berikutnya dia terdaftar di Departemen Sastra Prancis di Universitas Tokyo, dimana ia menerima instruksi di bawah bimbingan Profesor Kazuo Watanabe, seorang spesialis dalam Francois Rabelais. Pikiran Watanabe pada humanisme, yang datang dari studi tentang Renaissance Perancis, membantu membentuk pandangan dasar Oe tentang masyarakat dan kondisi manusia.
Oe mulai menulis pada tahun 1957, saat masih menjadi mahasiswa sastra Prancis di Universitas Tokyo. Karya-karyanya dari tahun 1957, melalui 1958 - dari cerita pendek, The Catch, yang membuatnya memenangkan Penghargaan Akutagawa, untuk novel pertamanya, Memushiri Kouchi (1958) - menggambarkan tragedi perang yang mencabik-cabik kehidupan indah dari seorang pemuda di pedesaan. Shisa no Ogori (1957), sebuah cerita pendek, dan novel yang berjudul The Youth Who Came Late (1961). Oe menggambarkan kehidupan mahasiswa di Tokyo, sebuah kota di mana bayang-bayang gelap dari pendudukan AS masih ada. Jelas dalam karya-karya ini mendapat pengaruh kuat dari Jean-Paul Sartre dan penulis Prancis modern lainnya.
Oe memenangkan penghargaan Nobel bidang kesusastraan pada tahun 1994 yang kemudian mendorongnya untuk memulai mengejar bentuk baru dari sebuah sastra dan kehidupan baru bagi dirinya sendiri.

Haruki Murakami
Haruki Murakami adalah seorang penulis dan penerjemah Jepang. Karyanya dideskripsikan oleh Virginia Quarterly Review sebagai “mudah dimengerti, namun dalam dan kompleks”.
Novel-novel Haruki Murakami menggambarkan kegelisahan dan keterasingan yang dirasakan individu dalam masyarakat Jepang modern. Tulisannya sangat dipengaruhi oleh budaya Amerika, dipenuhi perujukan dan pengagungan pada film, musik, dan budaya pop Barat. Karakter-karakter dalam ceritanya menerima budaya tersebut sebagai bagian yang padu dengan kehidupan Jepang masa kini. Anak-anak muda Jepang menggemarinya karena karya-karyanya menyuarakan apa yang mereka alami, mereka dengan mudah mengidentifikasi diri dengan karakter dalam ceritanya, tetapi generasi tua mengkritiknya sebagai terlalu terbaratkan. Kata mereka, Murakami menggambarkan masyarakat Jepang secara sangat negatif.
Murakami secara terang-terangan mendeklarasikan keinginannya untuk berbeda dari pendahulunya. Dalam sebuah wawancara pada 1991 dia berkata, "Saya ingin mengubah sastra Jepang dari sebelah dalam." Dia bisa disebut seorang pemberontak dalam panorama literatur Jepang. "Kebanyakan novelis Jepang,"  kata Murakami, "kecanduan pada keindahan bahasa. Saya ingin mengubah itu."
"Menulis dalam bahasa Jepang bagi orang Jepang mempunyai satu gaya tertentu yang kaku. Orang harus mengikuti gaya itu. Tapi gaya saya berbeda, dengan atmosfer yang sangat Amerika. Saya mencari gaya baru untuk pembaca Jepang dan saya pikir saya sudah mendapat pijakan." Pijakan itu sungguh kuat jika melihat posisi yang telah diraihnya sekarang. Novel pertama Murakami, Hear the Wind Sing, terbit pada 1979, ketika dia masih berstatus pemilik sebuah bar jazz di Tokyo yang didirikannya usai menamatkan studi di Waseda. Kini selusin judul buku telah ditulisnya, lebih dari dua belas juta eksemplar bukunya beredar di Jepang, dia telah menerima serangkaian penghargaan bergengsi, dan novelnya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari empat belas bahasa. A Wild Sheep Chase adalah novelnya yang ketiga, berisi kisah aneh tentang seorang pria yang dipancing masuk ke dunia antah-berantah yang mistis untuk mencari seekor domba misterius.
Murakami menyebut novel ini sebagai kisah fantasi petualangan. Kritikus menyebutnya sebagai gabungan cerita detektif dengan fabel, misteri, dan komedi di mana mimpi, halusinasi,imajinasi liar lebih penting daripada bukti-bukti nyata.
Protagonisnya adalah seorang pekerja di biro penerjemahan yang menandai hari-hari yang dilewatinya lewat lagu-lagu yang didengarnya di radio. Seperti di kebanyakan novelnya yang lain, sang protagonis hanya disebut sebagai "Boku"atau "Watashi", yang keduanya berarti aku atau saya. Secara geografis latar novelnya adalah Jepang, tapi pengalaman protagonis sama sekali tidak bergantung pada tempat itu karena ceritanya dipenuhi oleh perujukan pada budaya pop Amerika tahun 1960-an.
Lewat novel inilah Murakami pertama kali dikenal di Amerika setelah edisi berbahasa Inggrisnya terbit pada Oktober 1989. Buku itu segera mendapat sambutan hebat di kalangan pembaca bahasa itu. Ulasan, wawancara dan foto besar Murakami bermunculan di The New York Times Book Review, Washington Post, Wall Street Journal, San Francisco Chronicle, Los Angeles Times, dan sejumlah majalah serta jurnal sastra lain. Gaya tulisnya diperbandingkan dengan Kafka, Don DeLillo, Tom Robbins, Chandler, Salinger, Borges, tapi kemudian diakui sebagai orisinal. Penerbitnya di Jepang, Kodansha, menyebut baru kali ini sebuah novel Jepang modern didiskusikan dengan begitu luas di lingkaran sastra dan penerbitan Amerika. Tak lama kemudian novel ini terbit pula di Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Korea, Belanda, dan Spanyol.
Empat kumpulan cerpen antara 1982 dan 1986, sebuah novel pada 1985, Hard Boiled Wonderland yang meraih penghargaan prestisius Tanizaki Prize. Disusul berturut-turut dalam jarak dua tahun oleh Norwegian Wood (1987) dan Dance, Dance, Dance (1989) yang merupakan sekuel bagi A Wild Sheep Chase.
Secara keseluruhan, karya Murakami dapat dibagi ke dalam tiga kelompok. Pertama adalah fabel fantasi seperti A Wild Sheep Chase, yang merupakan buku ketiga dalam sebuah trilogi. Dua buku pertama dalam trilogi ini adalah Hear the Wind Sing (1979) dan Pinball 1973 (1974). Termasuk juga dalam kategori ini adalah Wind Up Bird Chronicle (1994) yang menyoroti tindakan Jepang di Manchuria dalam Perang Dunia kedua. Buku-buku dalam kategori inilah yang paling kuat mencerminkan kecenderungan surelisme dan realisme magis Murakami.
Kategori kedua adalah kisah cinta seperti Norwegian Wood, sebuah novel yang melambungkan kepopulerannya. Para kritikus menyebut kepopuleran novel ini adalah karena tokoh utamanya terlalu banyak melakukan hubungan seks dan membicarakan soal itu secara sangat ringan dan terbuka. Bagi Murakami sendiri, Norwegian Wood merupakan buku yang unik karena ditulis dalam gaya realisme murni dan sangat linear. Dia menyukai buku itu tapi tidak berencana menulis lagi dalam gaya seperti itu. Karyanya yang juga termasuk dalam kategori kedua ini adalah Sputnik Sweetheart (2001).
Kategori ketiga adalah buku-buku nonfiksi, Underground (1998) dan After the Quake (2000). Kedua buku ini ditulisnya sebagai respons terhadap dua kejadian penting yang menimpa Jepang: serangan gas sarin oleh kelompok kultus Aum Shinrikyo terhadap penumpang kereta bawah tanah di Tokyo pada 1995 dan gempa besar di Kobe pada 1997. Kedua peristiwa itu terjadi ketika Murakami berada di "pengasingannya", menulis di Yunani dan menjadi pengajar tamu pada Universitas Princeton dan Tufts. Dia merasa harus memperlihatkan kepeduliannya pada kejadian besar itu.
Untuk menulis Underground Murakami mewawancara sekitar 65 orang penumpang kereta bawah tanah yang diserang itu. Dalam proses itu dia menemukan pengenalan baru tentang negerinya, tentang para pekerja keras yang berdesak-desakan setiap pagi di dalam gerbong kereta. "Saya mengagumi mereka,"  katanya. "Tapi tak ingin menjadi seperti mereka." After the Quake merupakan kumpulan cerita pendek yang menelusuri apa yang terjadi pada keluarga keluarga di Kobe setelah gempa besar itu. Kedua buku ini seperti menunjukkan perubahan pada diri Murakami, dari seorang yang ingin menjauh menjadi seorang yang kembali ke komitmen pada negerinya.
 

Catatan a_rahma Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review